🧷26

469 125 45
                                    

"Yang sakit itu badanku, bukan mataku. Dasar kau ini...."

… artinya, Mark bisa?

“Enggak,” Haechan mengibaskan tangan. "Emang ada yang salah sama matamu, Hyung."

Benar. Ini nyata.

Dengan posisiku yang berdiri sedikit jauh dari ranjang, Mark kelihatan agak susah mencuri pandang padaku sembari menjaga agar kompres di dahinya tidak buyar.

"Belum paham juga? Dia bukan manusia."

Gelanyar tidak nyaman merambati dadaku, tapi aku mencoba tersenyum sedikit. Untuk Mark yang masih pucat.

"Jangan bercanda," tolaknya setelah beberapa saat, sebelum ia memejam dan mengerang sebentar. Bagaimanapun, Mark baru bangun dari pingsan.

"Mau kusuruh dia nembus tembok?"

Dia langsung membuka mata. "Chan, jangan kelewatan. Nggak sopan.” Kemudian, masih lewat matanya, Mark tampak meminta maaf padaku.

"Aneh juga kalo langsung percaya sih," Haechan yang duduk di tepi ranjang bergumam sendiri. "Molla, sini."

Haechan tahu-tahu menyodorkan tangannya kepadaku.

Aku terpaku. Dia ingin mempertontonkan tangan kami berdua yang tak bisa saling menggenggam?

Kejam sekali.

"Haechan benar, Mark. Aku bukan manusia," aku memilih mengabaikan uluran itu dan bergerak maju ke arah mereka. "Kalau kau mau, aku bisa menembusmu sekarang juga," candaku—tapi tak ada yang tertawa.

Kini pandangan Mark berubah menjadi ‘kalian bekerja sama mengerjai orang yang sedang sakit?’

"Hei, kenapa menolakku? Mark Hyung tidak akan percaya sampai melihatnya sendiri," dengus Haechan. Jari-jarinya yang masih tergantung di udara bergerak-gerak minta diraih. Aku pura-pura tuli.

"Aaa, Molla, aaaa." Dia merengek dengan nada kekanakan.

Haechan itu—kenapa sih?!

"Mentang-mentang sekarang ada orang lain yang bisa melihatmu, jadi kau tidak memeduli—"

"Iya, iya! Berisik!" Aku hampir saja melemparkan telapak tanganku ke atas telapak tangan Haechan. Tapi keraguan mendatangiku lagi, tatkala jemariku tinggal sejengkal di atas telapak tangan Haechan yang masih terbuka.

Haechan memicing, lantas menggerakkan tangannya, hendak mengait jari-jariku. Dan aku tiba-tiba saja ikutan menggerakkan tanganku ke samping; menghindar.

Kemudian, entah siapa yang mulai, kami malah main tangkap-tangkapan tangan. Tepatnya Haechan yang berusaha menangkap tanganku dan tanganku yang terus-terusan lari. Dari yang tadinya hanya berusaha menyentuh, sekarang jari-jari Haechan sudah mirip tanaman pemakan serangga yang hendak mencaplok mangsanya sana-sini.

Puncaknya aku sampai harus berjinjit meluruskan tanganku ke atas. Ini akan lebih normal kalau seandainya aku memegang sesuatu yang ingin Haechan rebut. Tapi kami ini cuma rebutan tangan kosong!

Kukira kekonyolan ini telah berakhir, sebelum dengan curangnya Haechan yang awalnya duduk tiba-tiba berdiri. Kami berhadapan dan sangat dekat.

Spontan, aku menurunkan tangan dan menyembunyikannya di belakang tubuh, panik. Haechan lebih tinggi dariku. Dia jelas bisa dengan mudah menangkap tanganku meski aku sudah mengangkatnya setinggi apapun—kecuali aku terbang.

“Kau kenapa sih?! ‘Kan aku tidak bisa benar-benar memegang tanganmu!”

Justru itu! “Aku tidak mau! Menyerah saja!” Aku susah-payah berkelit ketika Haechan berupaya menarik tanganku yang bersembunyi.

[END] See You When You Can See MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang