🧷17

469 123 6
                                    

Ada yang berubah dari diriku.

Aku jadi sering keluar dorm, berjalan-jalan tak jelas ingin kemana. Dianugerahi wujud yang tak punya lelah, mengakibatkanku kadang jadi lupa waktu. Tahu-tahu pagi, tahu-tahu malam.

Tapi, bukan itu yang paling berubah dari diriku.

Yaitu; aku menjadi biasa saja saat mendapati para member sudah mengosongkan rumah dan pergi bekerja. Kalau sedang beruntung, mereka bisa ditemukan berada kantor atau ruang latihan. Kalau tidak, ya seperti sekarang ini.

Aku akan berbaring di sofa ruang tengah, menggolekkan diri sekenanya sampai mereka semua pulang—meski kebanyakan member langsung mengunci diri di kamar masing-masing setelahnya.

Aku akan menerawang langit-langit polos ruangan, meresapi suara jam bulat yang terpaku di dinding berdetak satu demi satu. Kadang-kadang kuhitung detiknya sampai tiga ribu alias selama hampir sejam. Mungkin aku sedikit berharap bisa seperti manusia yang tertidur seusai mengitung kawanan domba.

Tentu saja itu harapan kosong. Hari ini, sudah kuhitung sampai tujuh ribu, jangankan tidur, menguap saja tidak.

Kakiku berada di permukaan sofa, sementara ubun-ubunku menyentuh lantai, bersepandang dengan jendela kaca. Masih ada jingga di luar sana. Senja. Apa para member sedang dalam perjalanan pulang? Atau hari ini akan pulang larut?

"Hm," tanpa sadar aku menggumam. "Tujuh ribu...," aku memejamkan mata lagi. "Tujuh ribu satu...."

Di hitungan ke tujuh ribu sepuluh, ada suara kunci pintu menyela senyap. Aku tidak langsung bangun. Karena—ini lucu, saking berulang kali melakoni 'adegan' ini, aku jadi hapal bagaimana irama langkah kaki tiap member.

Susah dijelaskan, tapi yang jelas, yang datang kali ini bukan seseorang di antara keenamnya.

Hitunganku masih berlanjut tatkala dua orang wanita menampakkan diri tak lama kemudian.

Staf? Itu kadang terjadi dimana member teledor dan lupa meninggalkan sesuatu di dorm. Walaupun seingatku mereka lebih sering meminta bantuan pada manager lelaki itu.

Ah, bukan urusanku. Sampai berapa hitunganku tadi? 7025?

"Astaga, aku bisa mendengar bunyi jantungku sendiri. Ini tidak papa, kan?"

"Tenang saja. Temanku yang ada di lokasi akan mengabari kalau mereka mau pulang."

7030—sial, mereka berisik.

"Bagaimana aku bisa tenang? Ini sangat memacu andrenalin!" serunya. "Baiklah, beritahu aku, kita harus apa?"

"Ayo cari di mana kamar Jaemin. Aku dapat info kalau dia sekamar dengan Jeno."

7031, 7031.... aku berusaha berkonsentrasi. Kenapa sih, mereka tidak menyalakan lampu dan cepat-cepat menyelesaikan urusannya kemari?

"Gila, gila! Itu jemuran pakaian mereka!"

Aku gagal. Hitunganku jadi kacau dan mendadak tubuhku menegang.

"Sssst! Pelankan suaramu!"

"Hehe, maaf. Habisnya, langsung jackpot gini."

"Menjijikan."

Telingaku seperti mengulang umpatan Haechan sewaktu dia pertama kali bisa melihatku. Aku menoleh tak percaya. Mereka...?

Aku merasakan perutku keram, namun kupaksa bergerak menuju ruang sebelah di mana dua orang itu berada.

Dan, sampailah aku pada interpretasi sesungguhnya dari kata 'menjijikan'.

"Ah, aromanya..." Gadis berkuncir kuda itu membenamkan hidungnya dalam-dalam pada sebuah pakaian katun berwarna hitam. Aku... mual.

"Aku ingat pakaian ini," katanya berseri-seri. "Jisung menggunakan ini tiga hari yang lalu. Ingat 'kan, hari itu cuacanya sangat panas? Dia berkeringat banyak."

"Kau beruntung. Mau diambil?" balas perempuan lainnya, masih sibuk mencari-cari sesuatu. "Aish, kenapa tidak ada jemuran pakaian dalam?"

Aku menyesali ketidakberdayaanku untuk menampar! Berengsek!

Aku akan merasa bersalah jika harus menceritakan obrolan mereka selanjutnya. Sumpah, tak ada kata lain selain menjijikan. Tidak ada public figure manapun yang pantas mendengarkan ini.

Kukira ini sudah cukup buruk dimana aku tak bisa meludahi mereka berdua, sampai telingaku yang akhir-akhir ini lebih peka mendengar irama yang familier.

Tap. Tap. Tap.

Sontak saja, aku jeri.

Tidak, Jagat Raya, jangan....

"Kita ini beneran nggak papa pulang duluan?"

"Lah, kenapa? Kan hadiah games-nya emang gitu. Salah mereka kalah."

Jisung dan Renjun.

Mereka sudah pulang. Mereka berada tepat di luar pintu.

Aku merasa lenganku diterpa badai salju; mendingin dan gemetar.

Mereka tidak boleh kesini. Mereka tak boleh melihat neraka ini.

Tapi aku... harus apa?

***

[END] See You When You Can See MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang