🧷21

500 132 8
                                    

“Selamat pagi.”

“Hah?” Chenle mendelik. “Ngomong ke aku?” dia menunjuk dirinya sendiri.

Aku langsung tersenyum. “Selamat pagi juga,” balasku. “Memang terdengar aneh sih. Tidak biasanya.” Tapi aku senang. Ada kupu-kupu jatuh cinta di perutku.

Berlagak tidak mendengar, Haechan berjalan melewati kami berdua, bergabung bersama Jisung dan Jaemin yang tengah meregangkan badan. Pemanasan sebelum latihan dance, hal kecil yang belakangan baru kutahu berperan sangat besar dalam mengurangi resiko cedera.

Kudengar mereka mengobrolkan soal tarian yang ternyata sudah diberitahu kemarin-kemarin—kemungkinan saat aku sedang banyak kelayapan. Aku menyimpulkan saat ini mereka tinggal menghapal dan menyinkronkan koreografi saja.

Dan begitu latihan resmi dimulai, percayalah aku menyesali tambahan kata ‘tinggal’ dan ‘saja’ yang barusan.

Kucuran keringat membuat bagian belakang baju para member menempel seakan dilem. Terutama yang mengenakan kaus, sudah tidak tertolong basahnya. Pelatih dance mereka ada dua orang, terus berkeliling di antara enam member.

Memberitahu ini-itu, mencontohkan, dan menjawab pertanyaan member yang juga ini-itu.

“Menurutku akan lebih nyaman kalau dilakukan sebaliknya. Tangan kiri ke belakang.”

“Kalau begitu barisannya harus mengikuti. Oh, apa selang-seling saja?”

Mereka tak henti berdiskusi sampai bisa menemukan titik tengah yang memuaskan dua belah pihak.

Sudah nyaris tiga jam dan latihan belum berhenti. Aku tak punya kesempatan untuk menyela. Selain melatih gerakan masing-masing, mereka cukup perfeksionis ketika mengetes kekompakan grup.

Melalui cermin yang menghiasi dua sisi dinding, kesalahan semacam kepalan tangan saja akan terlihat dan dikoreksi, yang artinya mengulang dari awal. Sampai benar-benar mendekati sempurna dan tak ada kesalahan yang bisa disadari awam sepertiku.

“Oke, bagus!” Akhirnya, teriakan itu terdengar.

Kekuatan para member bagai tersedot. Mereka seketika terkulai ke lantai, beristirahat sembari mendengar bunyi napas sendiri dan orang di sebelah mereka. Setengah merangkak, Jeno memungut topi yang sempat dia lempar begitu saja di tengah latihan. Berkat itu, rambutnya yang sedikit memajang banyak menempeli pipi.

“Kita istirahat dulu. Dilanjutkan nanti sore,” pesan salah seorang pelatih.

Ucapan terima kasih mengalir dari para member. Renjun dan Jaemin yang tengah telentang tampak memaksakan diri untuk duduk demi membungkuk kecil. Mereka tak lupa menjaga tata krama dalam kondisi kelelahan sekalipun.

“Kalian nggak lapar? Makan yuk?” Usai beberapa saat hanya diisi keterdiaman, Jeno yang pertama angkat bicara.

“Aku nggak,” tolak Renjun. “Jisung mau ngajarin bagian yang belibet tadi. Ya ‘kan?” Si bungsu mengangguk tanpa memperlihatkan wajahnya yang tertunduk.

“Iya?” Chenle kelihatan tertarik. “Aku ikutan deh. Bagian sehabis reff itu bukan? Aku masih bingung sama posisiku.”

“Kalian juga udah bagus kok sebenernya,” Jisung terdengar buru-buru menjelaskan. “Cuma, ada beberapa gerakan kunci yang menurutku bisa bikin badan lebih stabil dan kompak.”

“Sama aku aja,” Haechan berdiri dengan kecepatan kilat. “Tadi pagi cuma nyemil roti, nggak tahan.”

Berkedip beberapa kali, Jeno akhirnya ikut berdiri meski setelahnya dengan cepat menoleh ke arah Jaemin yang masih merebahkan diri. “Jaem? Nggak ikut?”

Ah. Aku lupa Haechan dan Jeno sedang diam-diaman.

“Nggak. Nitip kopi pulangnya ya,” lambai Jaemin, menyengir lemah.

“Yang lain mau sekalian nitip—“ Haechan kontan mengangkat telapak tangan melihat ‘yang lain’ menoleh serentak, bersiap ribut. “—chat aja, oke? Jangan banyak-banyak!”

“Aku ikut, boleh?” tanyaku, mendekat pada Haechan. “Aku tidak bisa melakukan apapun tadi. Kalian sangat serius, astaga.”

Haechan menatapku sebentar, kemudian mengedik samar. Menganggapnya sebagai boleh, dengan riang aku mengikuti langkahnya yang mengikuti langkah Jeno—pokoknya urutan jalannya adalah Jeno, Haechan, baru aku.

“Makan dulu atau beli titipan anak-anak?” Haechan kini menyamakan posisi dengan Jeno, mengabaikanku di belakang.

“Ck, mereka nitip banyak banget minuman dingin,” keluh Jeno memandang layar ponselnya. “Pesen ini dulu deh, beresin.”

Diangguki Haechan, mereka membawa diri ke bagian minuman. Haechan kemudian menyebutkan satu demi satu pesanan para member, dan Jeno yang menjelaskan kalau pesanannya baru akan diambil sehabis mereka makan. Kukira keduanya lumayan akrab dengan pramusaji di sana.

“Aku nggak sempat jelasin soal kemarin,” Haechan tiba-tiba berbicara di tengah mereka menunggu kasir memproses pembayaran.

Jeno berjengkit, menerima struk dan kartunya kembali. “Mau dibahas di sini?” Akan terlalu kasar kalau kubilang nada suaranya terdengar gusar dan sinis, tapi memang begitu adanya.

Haechan dengan santai mengikuti Jeno menjauhi kasir. “Ya abisnya pasti sakit.”

“Hah?” dia sengit.

“Tangan Seora Noona sakit.”

“Hah?” ini aku.

“Apalagi kalau ditarik-tarik kayak gitu,” Haechan menggerakkan kepalanya ke arah jendela—lebih tepatnya dinding kaca yang bersih membingkai apa yang terjadi halaman.

Aku dan Jeno meneleng ke luar. Refleksku setelahnya adalah menoleh ke arah Jeno, ingin tahu reaksinya melihat Manager Seora bersama pria lain yang kurang pas untuk dianggap staf biasa.

"Bagian siku Seora Noona cidera,” Haechan melanjut lagi, tak peduli Jeno sudah sepenuhnya fokus pada apa yang terjadi di luar sana. “Laki-laki di luar itu nggak tahu dan malah nyengkram tangannya pas di bagian yang sakit. Ah, Seora Noona juga keliatannya nggak niat kasih tau, padahal pasti rasanya ngilu.”

Menoleh pada keterpakuan kami, Haechan kemudian menepuk pelan pundak Jeno. Tebak apa yang dikatakannya?

“Sekarang bagianmu, ‘kan? Sana.”

***

[END] See You When You Can See MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang