"Jisung-ah," Chenle menghampiri sofa di mana Jisung tergelepar. "Hey."
"Mmmh...?"
"Pindah ke kamarmu sana. Jangan tidur di sini," dia menggoyangkan kaki Jisung.
"Nanti."
"Ish, bakal sakit punggungmu kalo tidur di sini."
Asrama—atau lebih akrab disebut dorm—NCT Dream memang lumayan besar.
Ada empat kamar di sini. Salah dua yang memiliki ranjang bertingkat diisi berpasangan oleh Jeno-Jaemin sementara Renjun dengan Chenle. Lalu ada Haechan dan Mark kebagian kamar dengan sebuah kasur besar.
Jisung sendiri punya kamar pribadi yang berukuran sedikit lebih kecil, meski itu tidak mengurangi kebiasannya mengacak ranjang ruangan lain. Terutama Jaemin yang sudah sering mengungkit soal ranjangnya yang sering jadi korban di depan kamera.
Walaupun saat ini Mark hampir tidak pernah berada di dorm lantaran kesibukan di unit lain NCT, para member seakan sepakat untuk tidak mengutak-atik pembagian kamar. Atau aku malah curiga tidak ada yang sudi sekamar dengan Haechan.
"Berisik ah!" sungut Jisung, beralih memunggungi Chenle. Dia tau keberadaannya mengganggu siapapun yang mau menonton televisi, tapi dirinya telanjur pewe.
Chenle membersut. Di hari dan waktu biasa, dia pasti dengan senang hati menyeret paksa Jisung mulai dari kakinya. Tapi sekarang Chenle tampak tidak dalam mood bertengkar dengan adik bungsu yang tingginya mulai melebihi dirinya sendiri.
Pilihan terbaik adalah membuat Jisung meninggalkan tempat ini dengan sukarela. Chenle membuang napas seraya menyalakan televisi dan beranjak duduk di sofa single. Gerakannya tidak nyama. Sudah dibilang sofa panjang itu adalah spot terbaik. Letaknya tepat di depan teve dan bisa sambil rebahan.
Ah tunggu, dia seperti terbersit suatu ide.
"Zhong Chenle!" Benar 'kan.
Pura-pura tak peka, Chenle melirik Jisung.
"Ini jam sebelas!"
"Terus?"
"Kecilin volumenya bisa?!"
"Nggak bakal ngeganggu yang lain kok. Pintu kamarnya pada ketutup, nggak bakal kedengeran."
Sekonyong-konyong, Jisung melemparkan bantal sofanya. Air mukanya benar-benar kesal. Campuran ngantuk juga, kurasa. "Rese!"
"Makanya. Kamu. Pindah. Ke kamar. Sana."
"Kamu juga matiin tevenya, Chenle," Tiba-tiba Renjun datang menyela. Kami bertiga menoleh. "Kalian nggak capek apa?"
Oya, hari ini adalah hari kedua mereka rekaman. Hal-hal yang sebelumnya mengganjal dan dirasa kurang juga diperbaiki hingga baru rampung pukul sepuluh malam.
Seperti yang dikatakan Renjun, aku juga heran bagaimana Jisung dan Chenle masih punya tenaga untuk bertengkar.
"Aku nggak bisa tidur," keluh Chenle.
"Main hape sambil tiduran, ntar juga ngantuk. Ayo," ajak Renjun, menggamit Chenle yang pasrah saja. "Kamu juga. Pindah ke kamar. Mohon kerja samanya untuk nggak sakit di waktu-waktu begini ya, Jisung?"
Kadang aku lupa. Biar bagaimanapun, selama Mark tidak ada Renjun adalah kakak tertua. Dia bahkan bisa dengan mudah mengendalikan adik-adik yang susah diatur dengan ucapannya yang menampar tapi benar.
Blam.
Pintu kamar mereka tertutup hampir bersamaan.
Ah, aku ditinggalkan lagi. Sendiri di ruang luas yang telah dimatikan lampunya tidak menyenangkan. Aku malas bertemu hantu lain.
Apa boleh buat. Kubawa langkahku menuju kamar kosong—astaga, siapa itu di kasurku?!
"Aaah," aku menepuk dahi, teringat. Haechan sudah pulang. Kamar ini tidak lagi kosong seperti kemarin-kemarin.
Ngomong-ngomong, ini kali pertama aku melanggar peraturan jangan-masuk-jika-pintu-ditutup. Tapi sudah telanjur dan Haechan sendiri cuma sedang tidur, jadi tidak masalah, 'kan?
Aku reflek mengendap-endap. Lampu kamar masih menyala, membuatku bisa melihat dengan jelas.
Belum apa-apa, suara dari luar mengalihkan perhatianku. Suara yang familier di ingatan. Hujan? Aku mengubah arah, kali ini menembus jendela kaca menuju serambi balkon. Hei, ini kali pertama hujan turun semenjak aku 'tiba' di dunia lagi.
Indah. Rintiknya menari diterangi lampu-lampu yang membias dari mobil-mobil yang masih berkeliaran di jalan malam Seoul. Melodinya menenangkan untukku yang sedang kehilangan ingatan.
Aku tersadar dan menoleh, menatap jauh Haechan yang bergelung dalam selimut. Separuh wajahnya melesak dalam guling. Kalau mendekat, aku tidak tahan untuk tidak mengamati bulu matanya yang tak terlalu panjang tapi lebat.
Dia seperti anak kecil tanpa dosa. Yang langsung pulas ketika menyentuh bantal dan mencapai kedamaian. Sifatnya yang jahil dan iseng itu luntur seketika.
Aku masuk kembali. Daripada gerimis di luar, aku memang lebih menyukai pemandangan Lee Haechan yang sedang tertidur.
Duduk di tepi ranjang, kupandang jari-jariku ragu. Entah apa yang terjadi padaku malam ini. Mungkin ini salah hujan. Aku ingin membetulkan rambut merah batanya yang berantakan. Tidak akan membuatnya terbangun, 'kan?
Aku menyentuhkan ujung telunjukku pada dahi Haechan. Ingin menyingkirkan poni yang menghalangi. Pelan dan pelan. Aku tidak suka bila tanganku menembusnya. Seakan ada yang ingin menegaskan kalau kami berbeda.
"Uhm…."
Terperanjat, kutarik tanganku seketika. Barusan, Haechan tiba-tiba saja bergerak. Meski bukan gara-gara aku, tetap saja mengagetkan. Seperti tertangkap basah melakukan hal yang salah.
Dia membuka mata perlahan. Urat-urat merah di bola matanya terlukis jelas. Susah payah, Haechan menyibak sedikit selimut tebal yang menggulungnya. Punggungnya menegak dan terlihatlah pakaian yang sama dengan yang dikenakannya sepanjang hari.
Aku yakin dia terlalu capai untuk sekadar berganti pakaian.
"Pantes gerah," dia menggumam seraya melepaskan jaket, lalu disampirkan di sandaran ranjang.
Menguap, Haechan baru hendak berbaring lagi ketika menyadari sesuatu. Aku mendengarnya mengeluh sambil membawa-bawa nama Renjun.
Batal menyentuh bantal, dia ganti menarik laci dari meja di samping tempat tidur. Mengambil kapas dan oh, micellar water?
Aku menonton Haechan membersihkan wajahnya dari ujung tempat tidur yang berlawanan. Dia melakukannya setengah terpejam sedangkan kakinya tetap terkubur di bawah selimut. Lucu sekali.
Tak hanya micellar, berbotol-botol produk perawatan kulit juga turut dikeluarkan. Memang, mereka sebentar lagi akan melakukan comeback. Wajar bagi Haechan untuk peduli pada kondisi wajahnya. Jadi idol memang harus mau sedikit ribet.
Usai menyelesaikan kurang-lebih sepuluh step skincare dan merapikannya kembali ke dalam laci, Haechan kemudian menekan sakelar yang berada tepat sepuluh senti dari permukaan meja. Gelaplah semuanya. Aku baru mendapatkan kembali penglihatanku kala lampu tidur bercahaya kuning nyaman dinyalakan.
Pertanyaanku sekarang, apakah arwah bisa sakit mata?
Karena kini, aku tidak salah melihat kemana manik mata Hechan mengarah. Aku di ujung kiri ranjang dan dia di ujung kanan—kami benar-benar bertatapan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] See You When You Can See Me
Fanfiction"sedekat ini, tapi sejauh itu pula." aku terbangun di dorm orang-orang yang sangat kusayangi. tapi sebagai hantu yang hanya bisa diam-diam tersenyum memerhatikan dari jauh. ah, ceritaku tidak secreepy itu kok. malah mungkin-sedikit kelebihan gula...