🧷5

664 133 2
                                    

"Penekananmu tadi menurun, kita ulang ya. Mulai dari lirik 'just go'."

Renjun melingkari bagian yang dimaksud pada kertas musiknya. "Apakah di bagian akhir harus lebih rendah lagi?" Dia menoleh ke arah produser yang berada di ruang sebelah, tersekat sebuah kaca.

"Kita coba."

Musik kembali dinyalakan. Renjun mendekatkan mulut pada mikrofon, memejam dengan fokus. Suaranya indah sekali saat mengulang lirik; pergilah, bagaimana bisa kata-kata itu lebih menyakiti aku yang mengucapkannya?

Semakin kudengar, semakin aku tidak percaya kalau dulunya Renjun berencana menjadi dancer, bukan vokalis.

"Oke, kerja bagus."

"Terima kasih atas kerja kerasnya."

Dia melepaskan headphone seraya membungkuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dia melepaskan headphone seraya membungkuk. Lalu aku mengikuti langkahnya keluar dari ruangan berukuran kecil ini. Tidak kecil-kecil amat, hanya saja terlihat sesak oleh alat-alat rekaman yang kebanyakan tidak kuketahui namanya itu.

"Beres?" Persis di luar terlihat Jeno yang tengah bersandar ke tembok dengan kertas di tangan. Pasti sedang berlatih.

"Semangat," angguk Renjun, menepuk bahunya.

"Bagianku kayaknya bakal makan banyak waktu. Susah."

"Udah, bersyukur aja dapet line banyak."

"Cih. Awas kalau pulang duluan," ancam Jeno sebelum masuk.

"Mana bisa. Ngarang." Sesudahnya, Renjun juga segera masuk ke ruangan samping. "Anyyeonghayeso." Dia menutup pintu.

Melambai, Haechan yang ada di sofa menggeser posisinya dan menepuk-nepuk bagian yang kosong.

"Saya bisa liat hasilnya?" Renjun mendekat dan duduk. "Punyamu beres?" bisiknya.

"Lumayan. Coba kita dengerin yang kamu."

Mereka membisu lagi, mendengarkan secara hati-hati.

"Kedengeran aneh nggak sih?" Renjun menggaruk hidung di tengah-tengah pemutaran. "Pas itu salah terus. Makanya penghayatanku buyar."

"Falset emang susah," Haechan melepas topi, mengacak-acak rambut capek. Bahunya menempel pada sandaran sofa.

"Bakal ada revisi rekaman, 'kan?" tatap Renjun.

"Mungkin. Tadi Chenle juga ngeluh."

"Kenapa dia?"

"Dia ngerasa hasilnya kurang natural, biasa."

Renjun manggut-manggut. "Maaf, bisa tolong diputar sekali lagi?"

Dari sudut ruangan, aku menyaksikan betapa mereka menjadi sosok yang sama sekali berbeda. Jauh lebih berkharisma dan memesona. Aku merasakan keseriusan mereka dalam berupaya melakukan yang terbaik.

Aku penasaran, bagaimana mereka mengisi hariku saat masih hidup dulu? Apakah aku yang dulu juga menyadari sisi keren ini?

"Tunggu Jeno dulu nggak?" Atas ajakan Haechan, kini kami pergi menuju ruang lain, tempat mereka biasa istirahat. Katanya makanan pesanan telah tiba saat aku menemani Renjun rekaman barusan.

"Jeno? Dia udah duluan makan malah."

"Lah?"

"Dia bilang daripada kelaperan di tengah rekaman." Haechan menukas, mengangkat bahu. "Tapi lirik rap Jeno ngeri sih. Panjang. Aku nyerah."

"Iya, Jaemin bilang Jeno sampai telepon Mark Hyung buat minta saran. Lagian—" Kata-kata Renjun tak selesai, mimiknya berubah tatkala membuka pintu. "Ini makanannya masih ada sisa buat kami nggak, hey?"

"Wah, parah," protes Haechan ikut mempercepat langkah.

"Hitu dihana mahih uhuh," tunjuk Jisung, tidak jelas karena mulutnya penuh. Jaemin sampai mengulurkan tisu.

"Cuma sisa dua?"

"Kalian emang berapa orang?"

"Perut Haechan harusnya dihitung tiga," keluh Renjun setengah mencela kepada Chenle.

"Jahat. Aku bela-belain nungguin kamu dulu lho."

"Oh, makasih banyak. Menyentuh sekali."

Jaemin mendesah. "Dah, udah. Cepet makan kalian." Dengan cekatan, dia membagikan sumpit dan gelas kertas, lantas cepat-cepat berdiri. "Aku mau liat Jeno dulu, ya."

"Jaem," tahan Renjun. "Bilang ke dia, kalo susah, tinggal aegyo aja ke seonsaengim*. Biar diampuni."

Serempak semua mereka tertawa kecil, termasuk Jaemin sendiri yang membalasnya dengan dengan mengacungkan jempol sebelum pergi.

"Hasil rekamanmu aman?" Haechan membelah sumpit dan bertanya pada Jisung.

"Aku puas sih. Cuma ada satu bagian yang pengen kuubah sedikit nadanya. Tapi nanti nanya dulu," terang Jisung. "Hyung sendiri?"

"Lumayanlah."

"Ah enaknya kalian," Chenle mendengus. 

"Hasilmu bagus kok, tadi kudenger juga."

"Ah, artikulasiku berantakan."

"Kamunya terlalu perfeksionis," tepis Haechan, mengunyah. "Masih ada besok, tenang aja."

Setelahnya, hingga seluruh makanan tandas, mereka berbicara soal hari ini dan perincian perilisan album mendatang. Begitu sibuk, lelah, sekaligus antusias. Sinar mata mereka mengingatkanku pada kejora di ufuk Timur pagi tadi.

Sekali lagi, aku ingin berkata pada diriku ketika masih hidup dulu, kamu menyukai dan mendukung orang-orang yang keren.

***

Catatan:
Seonsaengnim : guru.

[END] See You When You Can See MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang