🧷24

448 109 3
                                    

Mark hilang.

Kabar itu secara tiba-tiba merobek dorm kami pada dini hari, membangunkan seluruh member dan membawa mereka berkumpul di kamar Jisung dengan wajah yang sepenuhnya terjaga. 

“Kapan terakhir kalian bicara sama Mark Hyung?” Haechan masih belum melepaskan mata dari ponselnya.

“Aku kemarin malem, liat.” Dia membalikkan layar ke arah para member. Beberapa deret pesan teks soal Haechan yang bercerita pada Mark tentang sejauh mana proses comeback kali ini telah berlangsung.

“Aku sempat teleponan hari Kamis kemarin,” imbuh Jeno.

“Kalau aku... 9 Juli, tiga hari yang lalu. Di grup chat kita,” Renjun menjadi yang pertama menaruh ponsel. Pandangannya mengitar, mengabsen wajah-wajah gelisah di depannya. Di antara semuanya, dia menjadi yang terlihat paling tenang, meski aku yakin di dalam tak demikian.

“Berarti dia udah ilang kontak sejak pagi kemarin?”

“Siang,” koreksi Haechan. “Tadi pagi masih ada di dorm, sarapan bareng.”

Jaemin mendadak merengsek maju. “Jungwoo Hyung nelepon.”

Loudspeaker,” titah Chenle, merapatkan diri.

“Halo, Hyung?”

Jaemin? Yang lain di sana?" Suara Jungwoo terdengar.

“Iya, ini pakai pengeras suara. Udah ada kabar?”

Nggak, bukan itu. Kami... baru aja nemuin handphone Mark keselip di ranjang.

Desisan beberapa member tidak mampu ditahan lagi. Kurasa mereka berharap panggilan telepon ini adalah kabar baik, bukannya begini.

“Mark Hyung bener-bener nggak ngomong apapun tadi pagi? Mungkin dia emang ada acara dan kebetulan hp-nya ketinggalan?” Jaemin menyuarakan pikiran positifnya.

Masalahnya Mark emang lagi kecapekan. Tadi pagi juga badannya demam, sarapan cuma beberapa suap. Semua ngira dia lagi istirahat di kamar dan nggak mau ganggu,” terang Jungwoo. “Jadi nggak ada yang liat Mark keluar dorm. Cuma satpam yang sempat papasan jam dua siang katanya. Ada di CCTV juga.

“Jam dua siang... berarti udah dua belas jam lebih. Kenapa kami baru dikabarin?” protes Jisung, mendekatkan wajahnya pada ponsel milik Jaemin.

Aku tak tahu dia memang biasa sedekat ini dengan Jungwoo atau gara-gara kondisi ini saja.

Sori, kami juga baru sadar dia nggak ada pas sorenya. Dan kami pikir Mark pergi nengok latihan kalian, soalnya dia udah rencanain itu dari lama. Untung Taeyong Hyung ngeuh kalau dia nggak ada di foto yang kalian posting pas latihan hari ini dan langsung tanya ke Haechan.”

“WayV unit juga udah dikabarin?” Renjun bergabung.

Udah. Mereka lagi bantu nyari.”

“Hyung, sebentar. Tadi katanya ada rekaman CCTV ‘kan?” Pertanyaan Haechan langsung menyedot semua perhatian. “Kerekam nggak Mark Hyung perginya naik apa?”

“Ah betul. Kalau taksi mungkin bisa dilacak,” timpal Chenle cepat mengerti.

Udah dilacak, kok.”

“Gimana?”

Mobilnya emang kerekam dan kami udah minta bantuan perusahaan taksinya. Tapi masalahnya... Mark turun di taman kota.

“Hyung, mungkin dia ada janji aja sama seseorang? Udah cek hpnya? Sandinya 444321 btw.”

Udah, Yuta Hyung juga tau sandinya. Tapi nggak ada apa-apa. Chat sama riwayat telepon terakhirnya malah sama kamu, Chan.

“Aish!” sengit Renjun saat itu juga. “Taman kota ngapain sih? Dia kencan apa gimana?!”

“Kencan di tempat begitu sama aja ngasih berita gratis. Siang-siang lagi,” Jeno menampik sembari memijit dahinya.

Pokoknya kalian stand by ya. Kalau bener Mark cuma keluar biasa tapi lupa bawa hp, dia pasti bakal secepatnya ngehubungin kita.

“Setelah dua belas jam lebih?” lirih Jisung setelah telepon ditutup. Gelengannya mengatakan keraguan.

Jaemin menepuk punggung Jisung pelan. “Berdo’a aja,” dia berbisik menguatkan.

“Chan, kamu beneran nggak tau apa-apa?”

Yang ditanya menatap Renjun tak paham.

“Mark Hyung selalu cerita semuanya ke lo.”

“Terus aku rahasiain dari kalian walaupun tadi udah denger Jungwoo Hyung bilang Mark Hyung lagi demam?” Haechan berucap sarkastik.

“Terus dia kemana—” Renjun keduluan oleh suara bel dari pintu depan. “—siapa yang dateng jam segini?”

“Sori,” Haechan tampak memaksakan diri bangkit. “Tadi aku lagi pesen makanan sebelum denger kabar ini dari Taeyong Hyung.”

Di situasi serius yang biasa—tidak segenting ini, mereka pasti akan mengeluh atau sekadar bareng-bareng melempari bantal kepada Haechan. Tapi sekarang, bahkan Renjun pun hanya melengos dan segera fokus pada ponselnya seperti lainnya, mengotak-atik dan menelepon entah siapa.

“Mark akan baik-baik saja ‘kan?” tanyaku selagi menuturi Haechan keluar kamar.

“Harus.”

Aku terdiam.

“Kau kenal Mark Hyung juga?” Haechan baru berbicara lagi ketika kami memasuki ruang tengah. “Ah, sejak awal aku bahkan tidak pernah bertanya bagaimana kamu bisa mengenal kami semua,” dia terkekeh samar.

“Bagus kau tidak bertanya. Aku tidak tahu jawabannya,” kataku, miris.

Kami akhirnya bungkam sampai tiba di pintu depan. Sampai Haechan membuka pintu dan menemukan senyum canggung seseorang ada di baliknya.

“Hai...?” Dia menyapa setengah meringis.

Haechan ternganga, menoleh kepadaku—yang kubalas nganga juga. “Hyung—”

Belum lepas ketercengangan kami, Haechan lebih dulu terhuyung, termundur beberapa jengkal. Tangannya praktis mengcengkram ambang pintu demi bertahan dari beban yang tiba-tiba menubruk dadanya itu. Aku spontan memekik.

Mark jatuh pingsan.

*** 

[END] See You When You Can See MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang