🧷25

435 119 13
                                    

“Iya, udah ketemu. Tolong bilang ke yang lain buat nggak usah nyariin lagi.” Dengan tangan hinggap di belakang kepala, Chenle berkerja keras memaparkan. “Iya, pokoknya aman. Keadaannya?” Dia melirik Haechan dengan tatapan risih.

Haechan dengan cepat menyilangkan tangannya, menggelang.

“Aku nggak mau bohong!” seru Chenle setelah menutupi bagian bawah ponselnya. “Nih, jawab sendiri!”

Tak punya pilihan, Haechan terpaksa menerimanya. Dia berdehem sebelum menempatkan ponsel di telinga. “Halo?”

Chan? Mark nggak apa-apa ‘kan?

“Hyung,” kulihat lehernya bergerak menelan ludah. “Maaf banget, tolong jangan tanya apa-apa dulu, ya? Aku... belum bisa jelasin apa-apa.”

Kenapa?

“Ini permintaan Mark Hyung,” Haechan mendesah pening. “Dia mau sendiri dulu. Maaf.”

“... tapi semua bakal baik-baik aja kan?” Taeyong terdengar tidak puas, tapi berusaha menutupinya.

“Pasti, pasti,” janjinya sesumbar. “Dia nggak ada jadwal buat hari ini ‘kan? Oke, oke. Makasih banyak, Hyung. Jangan cemas, bilang yang lain nggak usah kesini. Iya, dah.”

Baru Haechan mengembuskan napas lega, dia menyadari tatapan menghakimi dari semua member yang berkumpul di ranjang selain Chenle. “Apa sih?”

“Mark Hyung beneran ngomong jangan bilang ke siapa-siapa? Bukannya dia langsung pingsan?” Renjun bertanya dengan nada menuduh.

“Coba kalian pikir,” tukas Haechan, mendekat. “Dia ilang dari siang, terus balik-balik demam tinggi. Kalian mau aku bilang dia pingsan dan bikin semua orang dateng kesini subuh-subuh, padahal mereka bisa aja belum tidur dan ada jadwal pagi ini? Kalian pikir itu harapan Mark Hyung sewaktu datang ke kita alih-alih pulang atau ke dokter?”

Jaemin membuang napas. “Haechan bener. Nggak ada yang bisa jelasin situasi ini selain Mark Hyung sendiri. Jadi pertama, dia harus baikan dulu.”

“Airnya masih hangat? Mau kuambilkan yang baru?” tawar Jisung begitu Jaemin mengangkat handuk basah yang tertempel di dahi Mark.

“Obatnya udah diminum ‘kan?” Haechan ikut menyerobot.

“Udah, tadi kupaksa. Untung bisa.” Jaemin menyelasaikan perasan terakhirnya di handuk itu, kemudian menggeser sedikit baskom airnya kepada Jisung. Jisung yang mengerti segera mengangkut benda itu keluar dari kamar.

Aku memperhatikan Mark yang terbaring dikelilingi para member.

Butiran keringat dingin sesekali muncul di lehernya, membuat Jaemin harus menyeka secara teratur. Diluar suhu tubuhnya yang tinggi, kondisi Mark terlihat kuyu. Area sekitar matanya menghitam sementara bagian bibir justru kehilangan warna. Aku tahu idol memang dituntut agar menjaga berat badan, tapi pipi Mark sudah kelewat tirus.

“Tiga jam lagi pagi. Kalau sampai saat itu panasnya belum turun juga, kita ke dokter. Aku nggak mau denger apapun,” putus Renjun, final.

Mereka semua diam, pertanda setuju. Seperti di aba-aba, semua pandangan terpanah pada satu titik; Mark. Mungkin mereka juga sepertiku, bertanya-tanya apa yang mengantarkan Mark pada kondisinya saat ini.

Meski menurutku, ini kewajaran. Di saat agensi sering lupa bahwa dia bukan robot yang bergantung pada baterai; memberinya jadwal dengan hanya secuil waktu istirahat, menempatkannya di sana-sini dengan alasan mengeksplor bakatnya—Mark tetap bertahan dan bisa tersenyum sejauh ini yang merupakan keajaiban.

Ah, aku jadi overthinking sendiri. Lupakan saja. Aku memang sok tahu.

“Kalian belum pada tidur ‘kan?” Haechan mengakhiri keheningan.

“Hah?” Renjun memutar kepalanya.

“Tadi mereka lagi pada main game bareng,” deliknya.

“Serius kalian? Itu badan dibikin dari apa sih? Nggak capek apa latihan dance seharian?”

“Aku malah kalau terlalu capek bakal agak susah tidurnya,” Chenle yang duduk di kursi beralasan.

Renjun mendesis gemas. “Pagi masih tiga jam lagi. Baiknya kalian tidur sana sebentar,” perintahnya terdengar mutlak.

“Aku nggak ikutan—"

“Jaemin, kamu emang nggak ikutan main game, tapi pas gue ngabarin soal Mark Hyung kamu juga sama, belum tidur,” sambar Haechan.

“Kita ini ya, posisinya lagi ngejagain orang sakit. Dengan kalian yang belum tidur padahal abis latihan seharian, yang ada malah Mark Hyung sembuh kalian yang nge-drop,” timpal Renjun, setengah mengomel.

“Tapi lagi kayak gini, nggak bakalan bisa tidur juga sih,” Chenle mendesah panjang, diangguki yang lain.

“Kalian pikir Mark mau kalian ikutan sakit gegara ngejagain dia?” Aku berbisik di telinga Haechan. Dia berjengit kaget, memegangi dadanya seraya menatapku dongkol, sebelum akhirnya mengikuti apa yang kukatakan.

Untunglah, kali ini Jeno, Jaemin, dan juga Chenle tidak lagi membantah. Kukira mereka membayangkan berada dalam posisi Mark, setidaknyaman apa skenario yang kugambarkan itu. Tambahan dari Renjun, toh mereka juga mau apa tiga jam menunggu di sini. Mungkin malah bakal ketiduran.

Tidak ada salahnya pergi ke kamar masing-masing, tidur bunglon sebentar, lantas segera kembali ketika matahari terbit. Renjun dan Haechan juga berjanji akan membangunkan kalau-kalau mereka kelepasan tidur. Dan Jaemin menjadi yang terakhir pergi seusai menjelaskan cara-cara mengompres dahi manusia yang hampir membuat Renjun mengajaknya berkelahi.

“Lho? Yang lain pada kemana?” Jisung yang membawa baskom air hangat baru menatap sekelilingnya bingung.

“Kita setuju jagain Mark Hyungnya bergiliran aja. Sekarang giliran kami,” Haechan jelas-jelas malas menjelaskan.

“Iya? Terus aku gimana?”

“Ya pergi sana.”

Menangani adik bungsu memang semudah itu.

Tersisa kami berempat; aku, Renjun, Haechan, dan Mark yang tak tahu harus apa selama beberapa lama.

“Ah, aku ke toilet bentar,” pamit Renjun.

Sekarang, cuma bertiga.

Situasi yang entah bagaimana menjadi sangat pas dengan timing Mark yang mendadak melenguh berat, lalu membuka matanya pelan-pelan. Haechan serta-merta mendekat, menanyakan keadaannya. Mark tidak segera menjawab, tapi justru tersenyum tipis dengan bibir pecah-pecahnya itu.

“Kenapa? Mau minum?” desak Haechan.

Mark menggeleng pelan, membuat kompres di dahinya sedikit bergetar. “Maaf. Aku... sudah merepotkan kalian, ya....” Suaranya bahkan terdengar kering.

“Apaan sih. Bahasanya formal bang—” Haechan tiba-tiba tertegun, tak menyelesaikan kalimatnya.

Aku menatap keduanya dengan otak yang buntu. Mereka berkomunikasi dalam bahasa apa sih?

Haechan tahu-tahu menjatuhkan matanya padaku, lekat dan lama. Aku menaikkan alisku, menunggu penjelasan. Tetapi yang kudapatkan malah hal lain.

“Kamu bisa liat dia, Hyung?”

Hal lain....

***

[END] See You When You Can See MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang