🧷23 (revisi)

487 110 18
                                    

“Lelaki itu tunanganku.”

Aku yang duduk deretan kursi seberang—terpisah oleh meja yang lumayan besar, membuka mulut, mengangguk-angguk dengan gerakan lambat. Jeno juga tidak terlalu bereaksi. Sedikit banyak, kami sudah menduga ini.

Cuma kegagalan hubungan percintaan yang bisa membawa ending seburuk tadi.

“Sebenarnya, kami tidak benar-benar putus sampai tadi.”

“Apa?” Ini baru sedikit plot twist. Sedikit.

“Aku tidak pernah mengucapkan perpisahan dengan benar,” urainya, membuat ekspresi yang sama denganku, persis sewaktu Haechan memberitahu soal cedera Manager Seora. Sepertiku, dia tak habis pikir dengan dirinya yang dulu. “Yang kupikirkan saat itu hanyalah kabur secepatnya.”

“Dari kekacauan itu...” Manager Seora mengenang jauh. “Ceritaku ini sebenarnya pasaran, kau bisa mendengarnya dimana-mana. Dia berselingkuh, dan aku baru mengetahuinya dua hari sebelum pernikahan, di tengah-tengah pesta lajangku sendiri.”

Jeno kali ini memilih diam; menunggu, menyimak, peduli setengah mati.

“Aku hancur saat itu, pikiranku penuh dengan ‘sejak kapan’ dan keraguan tentang niat di balik semua hal yang pernah dia lakukan untukku. Aku bahkan meragukan tiap senyum yang pernah dia buat; tuluskah atau malah kebanggan karena berhasil menipuku?” dia mengerang kecil. “Sampai situ saja harusnya cukup, ‘kan? Tapi tahukah kau apa yang paling menghantuiku hingga kini? Aku yang harus mengetahui kebusukan calon suamiku lewat orangtua selingkuhannya sendiri...”

“... ia datang ketika kami sedang bersulang... menangis dan hampir berlutut kepadaku di hadapan teman-teman dan keluargaku.

“Aku dikhianati setelah melalui pasang-surut selama enam tahun, tapi aku bahkan tak bisa merespon dengan benar.

“Itu perasaan terburuk yang pernah kurasakan seumur hidup.

“Aku merasa tidak berhak menderita di hadapan seorang ibu yang setengah mati mencariku demi anaknya yang hilang.”

Manager Seora tersenyum pahit. “Bagaimana bisa aku tiba-tiba menjadi orang jahatnya dan harus menanggung malu separah itu? Bukankah harusnya saat itu aku yang mengamuk habis-habisan?”

“Dimana tunangan Noona saat itu?” Jeno bersuara dengan awas.

“Dia di sana.” Aku segera mendesis dongkol. “Tapi kamu bisa apa saat ibu dari selingkuhanmu memohon pada calon istrimu—yaitu aku, untuk membatalkan pernikahan?”

“Maaf memotong lagi—aku tidak paham. Kenapa ia harus melakukan itu?”

“Selingkuhannya itu tahu tentang rencana pernikahan kami. Dan entah karena merajuk atau benar-benar terkejut, dia kabur dari rumah. Mungkin ibunya pikir ia bisa membuat anaknya pulang setelah aku dicampakkan.”

“Itu menggelikan.”

“Kenapa kaupikir begitu?”

Jeno mengernyitkan dahi bersamaku. “Karena dia hanya mementingkan anaknya sendiri dan mengabaikan yang lain.” Bukankah sudah jelas?

Seraya menyeka lehernya, Manager Seora tertawa tanpa suara. Mungkin dia ingin menyembunyikan melodi tak bahagianya. “Seorang ibu memang begitu. Aku yakin kepanikan membuatnya lupa bahwa aku juga anak dari seseorang.”

Ck, ini contoh nyata kenapa menjadi dewasa itu merepotkan. Kita jadi secara natural mengerti berbagai sudut pandang, lantas mampu memaklumi banyak tindakan orang-orang meski itu menghancurkan hidup kita sendiri.

“Malam itu juga, aku mengemasi barang-barangku. Membawa sisa tabungan yang nyaris habis untuk biaya penikahan, dan pergi ke Seoul dengan bus malam. Aku ingin cepat-cepat hengkang karena tak ingin mendengar siapapun mengatakan sesuatu yang membuatku membencinya. Terutama keluargaku.”

Ah, sebentar.

Aku rasanya ... paham. Tak tahu bagaimana caranya, aku benar-benar paham seolah aku yang mengalaminya. Mendadak pikiranku melayang memikirkan tentang keluarga yang tak kutahu ada atau tiada. Seperti apa ya, mereka?

“Situasinya sangat buruk karena aku sudah resign dari pekerjaanku gara-gara bedebah itu tak ingin aku bekerja sesudah menikah. Aku luntang-lantung melakukan apa saja yang kubisa di sini. Sampai akhirnya, aku di sini.” Manager Seora memutar pandangannya ke arah Jeno, tersenyum tipis. “Aku bisa bilang, pekerjaanku yang sekarang ini sangat berharga bagiku.  Aku tak boleh merusaknya dengan apapun. Kalau kehilangan ini, aku bisa mati. Benar-benar mati.”

“Apa maksudnya perasaanku pada Noona berpotensi untuk itu?”

Manager Seora tercengang, kelihatan tak mengantisipasi akan ditanya se-terus terang itu. Lehernya bergerak, menelan ludah beberapa kali. Tampak butuh banyak keberanian untuk mengeluarkan anggukan selanjutnya itu. “Kalau agensi sampai tahu, kau mungkin cuma akan ditegur, tapi aku? Besar kemungkinan berujung pemecatan.”

“Mari luruskan satu hal,” Jeno mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. “Apakah artinya kalau tidak ada agensi dan hubungan kerja, perasaanku akan berbalas?”

Bodohnya, malah pipiku yang memanas. Situasi ini... bagaimana nanti aku harus mengisahkannya pada Haechan?

“Kau tidak menangkap poinnya,” ralat Manager Seora, terdengar terlalu terburu. “Bukan itu maksudku—" dia kelihatan ngeri mendapati cengiran kecil di wajah Jeno. “Aku tidak mengerti dengan pemikiranmu, Jeno-shhi,” desahnya putus asa.

“Bagian mananya?”

Sorot mata Manager Seora langsung menajam. “Hidupmu itu ya, dikelilingi wanita-wanita yang bukan hanya cantik, tapi juga sangat berbakat. Beberapa malah berteman baik denganmu, ‘kan? Kau juga berinteraksi dengan sangat banyak staf wanita yang setiap harinya. Semuanya yang normal-normal saja itu kenapa tidak berlaku padaku? Dan yang terpenting, kenapa malah aku?”

Jeno tertawa. Renyah dan bahagia. "Kalau soal itu, Noona bertanya pada orang yang salah,” jawabnya, dihadiahi ekspresi kesal campur bingung Manager Seora.

Jeno lantas meraba bagian dalam topinya, menarik sesuatu dari sana.

Jepit rambut; dia memamerkannya bersama senyuman mirip dengan anak kecil bandel yang habis dihukum karena ketahuan bermain hujan.

“Kenapa harus Noona, managerku sendiri? Jawaban dariku sangat singkat; aku juga tidak tahu."

“... terserah kau sajalah.”

***

[END] See You When You Can See MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang