🧷33

382 112 9
                                    

“Kalian... duluan saja,” aku menyengir kaku, tanpa sadar menjauhkan tubuhku dari pintu kamar yang gagangnya sudah dalam genggaman Haechan.

“Mulai,” dengus Haechan. “Dia hanya Renjun, Molla. Bukannya kau selama ini sudah sering melihatnya dari dekat?” lanjutnya mengejek.

“Maaf ya,” Seora di belakangku menyela. “Aku tidak tahu. Kukira mereka semua bisa melihatmu dan bukan masalah siapapun yang memegang kalungnya.”

“Jangan terlalu khawatir. Dia bukannya marah. Iya, ‘kan?”

Aku mencebik. Baru beberapa bulan kami saling mengenal, Haechan tampak sudah mengenalku lebih baik dari aku mengenal dirinya. Sedikit tidak adil.

“Ini gara-gara kau. Kenapa musti mengungkapkan teori tentang kalung itu sih?” tukasku dengan nada menuduh.

“Oh, itu sudah bukan teori lagi. Manager Noona sudah membuktikannya. Dia menyentuh kalungnya dan akhirnya bisa melihatmu—”

“Apa kau harus mengatakannya secara sombong begitu hah?”

“Sudah, kalian.”

Aku merapatkan mulut dan membuang muka dengan ekspresi kesal. “Kalian duluan saja,” ulangku. “Aku menyusul nanti.”

“Aku tidak akan lama.”
“Terserah kau saja, Molla.”

Kata mereka, sebelum terdengar suara pintu dibuka dan ditutup kembali.

Aku menoleh, keduanya sudah tak ada. Kuhembuskan napas keras-keras, merasa lega juga kesal.

Haechan benar—aku heran, kapan anak itu akan melakukan kesalahan, sih? Perasaan dari dulu aku mulu yang salah. Aku juga ingin merasa menang atas dirinya— ya, aku tidak marah; aku cuma gugup.

Dalam dua kasus sebelumnya, aku tidak diberi kesempatan untuk ‘tahu’ lebih dahulu. Aku langsung menjalaninya tanpa latihan.

Ah, bahasaku terbelit-belit?

Maksudku, sewaktu Haechan dan Mark mendadak bisa melihatku, aku benar-benar tak tahu soal itu sebelumnya. Aku langsung dihadapkan dengan mereka tanpa persiapan. Sekarang, setelah aku akhirnya bisa mengetahui lebih dulu seseorang bisa melihatku—Renjun, aku malah bingung harus bagaimana. Setelah punya waktu untuk memikirkan apa hal yang bisa kukatakan pada seseorang yang bisa melihatku untuk pertama kalinya, aku justru bingung setengah mati.

Masalah terbesarnya adalah Renjun itu sendiri. Kurasa, bukan cuma aku yang berpikir dia memang ingin bertemu denganku...?

Sontak aku mengedarkan retinaku pada ruang tengah yang mendapatkan cahaya dari pintu balkon yang lupa ditutup. Di tempat ini, katanya, Renjun pernah melihatku. Kapan? Sewaktu apa?

“Hei.”

“Astaga!” Aku terlonjak. “Seora—kapan kau keluar?”

“Baru saja,” ia mengerutkan dahi dengan tatapan ‘kau sedang seserius apa sampai tidak menyadarinya?’ “Ngomong-ngomong,” tiba-tiba dia mengangkat tangan, “kalungmu.”

Aku menegang sedikit. “Lalu?”

“Aku akan membawanya pada tubuhmu.”

Bibirku kelu. “... apa artinya itu?”

“Energi yang tertinggal di kalungmu ini, bisa membuatmu kembali bangun,” Seora memandangku lekat.

“Itu kalau kau benar-benar berniat untuk bangun.”

Entah sejak kapan aku menghindari matanya. Aku tidak suka ini.

“Kau paham ‘kan? Wujudmu ini... sementara.”

[END] See You When You Can See MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang