Kami bertukar pandang. Kami bertukar rasa sakit. Kami bertukar kengerian.
Cerita yang sama, luka yang mirip.
"Aku membencimu," aku mengatakannya lebih dulu. Aku memang ingin mengatakannya sebelum dia. Aku ingin dia tahu aku membencinya sebanyak dia membenciku.
Dia berjalan mendekat dengan kepala tegak dan ekspresi dingin. "Kau mengatakannya dengan wujudmu itu?"
Perutku bergejolak. "Aku benar-benar membencimu."
Wanita itu malah diam. Menatapku, menilaiku. Sepeti malam itu, di gang gelap itu. Hanya kami berdua. Bedanya, dulu kami tak mengetahui masing-masing peran yang kami mainkan.
Ternyata cukup begitu saja, tanpa sadar aku telah membalikkan badan, membelakangi dia. Wajahku menghadap langit-langit ruangan. Biasanya, sepagi ini lampu bahkan belum nyala. Hari ini belum dimulai, tapi rasanya sudah sepenat ini.
"Kang Ha Eun..." Suaranya melewati punggungku.
Tubuhku menegang. Aku menunggu apa yang akan dikatakannya tanpa membalikkan badanku. Aku tahu apa yang kutunggu.
"Kau sadar siapa yang salah di sini, bukan?"
Aku menunggu dia mengatakan aku juga membencimu.
Aku hidup dalam delusi. Aku tak pernah tahu siapa si selingkuhan itu, dan tak pernah mau tahu. Dari buku-buku yang kubaca, sosok simpanan seringkali tak bisa dibandingkan dengan pasangan asli.
Seseorang peselingkuh memang mencari sosok yang tak bisa ditemukannya dalam pasangannya, tapi yang akan dia dapatkan tetaplah seseorang dengan nilai rendah, yang tak menghargai dirinya sendiri sampai tak masalah menjadi orang ketiga. Seseorang yang tak akan pernah lebih baik dari pasangan yang diselingkuhi.
Tapi aku mendengarkan ceritanya dari A sampai Z.
Aku mendengarnya tanpa berpikir ceritanya itu bisa dengan pasti memberitahuku siapa yang salah.
Mereka berhubungan selama enam tahun.
Siapa yang takkan pernah menjadi lebih baik dari siapa?
"Kau mau aku apa?" balasku. Aku berharap suaraku lebih baik dari ini. "Kau lihat aku sekarang? Bukankah ini sesuai dengan apa yang orang-orang bilang karma?" Aku tak pernah merasa sejahat ini pada diriku sendiri. Kuharap dia tak melihat bahuku yang bergetar pelan.
Enam tahun, Ya Tuhan. Betapa panjangnya itu. Aku merusak enam tahun seseorang-dua orang.
"Mau kau yang berbalik atau aku yang kesana?"
Aku menutup mataku dengan satu telapak tangan, menggeleng beberapa kali. Sakit di kepala yang sempat kulupakan kembali mengamuk. Lututku mati-matian menahan berat tubuhku yang mendadak serasa bertambah sepuluh kilo.
"Aku minta maaf," serakku di tengah semua itu. Dada dan mataku terasa panas. "Aku tidak tahu kalau dia sudah mempunyai kau. Saat itu... tidak pernah ada seorang pria yang memperlakukanku seperti dia," akhirnya kumuntahkan juga. "Lalu tentang ibuku, dia tidak salah. Aku yang pergi begitu saja-"
"Demi Tuhan!" Dia muncul dari samping, menyelaku dengan tatapan nyalang.
Aku termundur sedikit. Aku tak pernah berhadapan dengannnya secara langsung. Sosoknya tak pernah terlihat sebesar ini.
"Kalau mau mengatakan hal-hal itu, setidaknya datang padaku sebagai manusia," geramnya. "Apa yang kauharapkan sekarang? Aku sudah tidak bisa menamparmu!"
"Aku... minta maaf...," terbata-bata kututurkan ulang.
"Oke, oke. Aku memaafkanmu. Lihat aku, Ha Eun."
Aku menggeleng, kian menundukkan kepala sampai dagu dan tulang selangkaku hampir menempel.
"Aku juga memaafkan Ibumu."
Hatiku langsung retak.
Ibu. Ibuku.
Ibuku yang sekali aku memberontak, dia langsung memberiku pemakamannya. Ibuku yang berlutut di hadapan tunangan pacar anaknya-aku menggeleng bersama erangan.
Pelan tapi pasti, tubuhku merosot jatuh.
Kedua kalinya, aku diperbolehkan untuk menangis.
"Lihat," kudengar suaranya menghela napas. "Daripada menamparmu, aku lebih frustrasi karena tidak bisa memelukmu."
***
"Aku benar-benar mengeluarkan semua makianku waktu itu."
Aku tertawa kecil. "Kasihan. Kau sudah memarahinya habis-habisan saat dia datang terakhir kali-" Mendadak aku terdiam. Gawat.
"Situasinya membuatku pusing. Aku dan lelaki itu dipanggil karena menjadi orang terakhir yang tercatat di riwayat teleponmu," lanjutnya, membuatku diam-diam menghela napas lega.
Aku tak mau dia tahu aku mendengar semua yang dia ceritakan kepada Jeno. Meski dia akan mengerti aku mendengarkannya tanpa niat buruk, rasanya tetap tidak nyaman saat seseorang tahu terlalu banyak tentang dirimu-sepengetahuanku.
"Terakhir, aku meneleponmu karena ingin memberitahukan kalau tak ada staf yang tahu di mana kalungmu itu. Aku perlu tahu di mana kali terakhir kau melihat kalungmu," dia menerawang. "Tak kusangka telepon yang tidak kauangkat itu membawaku pada kebenaran tentang siapa kau, siapa kita."
"Kau masih mencintainya?" tanyaku, pelan.
"Si tukang selingkuh itu?"
Aku meringis.
"Sedikit."
Aku kembali meringis.
"Aku masih sering mengingat enam tahunku, dan ya, dia ada di dalamnya. Dan... kau?"
Aku meringis lagi dan lagi.
"Kau juga masih, bukan?"
"Bagaimana ya," aku melipat kakiku dan menyatukan telapak tanganku di antaranya. "Sewaktu belum mengingat semua ini, aku tidak merasakan apa-apa ketika bertemu dia sebagai hantu. Aku cuma merasa orang ini familier. Dan sekarang, aku tiba-tiba ingat semuanya. Caranya memandangku, menggenggam tanganku, memberikan jaketnya; hal-hal kecil yang tak pernah kuterima sepanjang hidupku-ah. Aku sedang apa?"
"Lanjutkan."
Aku menggeleng. "Intinya, aku tahu dia adalah seorang pengecut, tapi dia tetap... orang yang pernah sedemikian berharga bagiku."
"Boleh kutanya berapa lama kalian berhubungan?"
"Kurang dari setahun. Kurasa... tujuh bulan?"
"Enam tahun kurangi tujuh bulan... oke, berarti setidaknya dia juga setia padaku selama lima tahun lima bulan."
Tawaku mengudara.
Dia juga tertawa kecil meskipun tak sambil memandangku. Aku mengikuti arah matanya; langit sejauh pandang yang belum menyambut matahari, tetapi rona-rona kuning keemasannya telah menyebar terarsir. Sudah mau pagi.
Aku lupa siapa yang pertama kali mengusulkan untuk mengobrol di balkon, tapi ini benar ide bagus.
"Sopir taksimu saat itu masih suka mengunjungimu."
"Katakan tidak usah lagi. Itu bukan salahnya," balasku.
"Katakan sendiri."
Aku menoleh.
"Kau akan bangun, 'kan?" Dia menatapku tajam. Angin pagi menggerak-gerakkan rambutnya yang setengah tersangkut di leher.
Aku tersenyum. Pendek.
***
Kadang-kadang aku mikir
ff nct superbagus banyak
yang bagus doang apalagi,
tapi kok lapakku ttp ada
yg baca ya?
jadi pengen ketemu
semua yg meluangkan
baca, terus ngobrol apa aja berjam-jam, terus
pelukan #apasihbtw hari ini
bulannya indah ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] See You When You Can See Me
Fanfiction"sedekat ini, tapi sejauh itu pula." aku terbangun di dorm orang-orang yang sangat kusayangi. tapi sebagai hantu yang hanya bisa diam-diam tersenyum memerhatikan dari jauh. ah, ceritaku tidak secreepy itu kok. malah mungkin-sedikit kelebihan gula...