🧷27

465 124 28
                                    

Sepertinya ada yang salah dengan cara jatuhku barusan.

Karena kini, hatiku berantakan.

Mark saja belum selesai, ditambah Renjun...?

“Kau juga... bisa liat?” Berbeda dengan kali pertama terjadi pada Mark, untuk yang ini Haechan tidak lagi serileks itu.

“'Juga'?” Renjun yang duduk di pinggir ranjang dekat Mark menoleh ke belakang, ke arahku dan Haechan.

Dan untuk pertama kalinya, aku takut melihat matanya. Sejak kapan dia bisa melihatku? Seberapa banyak ‘aku’ yang telah kaulihat? Huang Renjun?

Tunggu—apa? Ada yang aneh. Haechan juga kelihatan menyadarinya dan kami seketika bertukar pandang penuh kecurigaan.

“Aku juga bisa lihat,” aku Mark setelah batuk, menjernihkan tenggorokannya yang serak. Renjun segera menawarkan segelas air, tetapi Mark menolak dan malah melanjutkan, “Dan jujur, kalo nggak liat gimana dia nembus Haechan barusan, aku bakal masih anggep ini prank. Ditambah sekarang kamu juga ternyata—"

“Sebentar,” tahan Renjun, mengangkat tangan pada Mark, cepat-cepat mengembalikan gelas ke nakas samping ranjang. Lantas dia kembali menatap Haechan penuh tuntutan. “Jangan bilang, Molla-Molla itu ada di sini?”

“Kamu...,” Haechan tampak kehilangan kata-kata. “Kamu bisa liat nggak sih?”

Tanpa basa-basi lagi, Renjun memutar posisi duduknya, berbalik sepenuhnya. “Dia di mana sekarang?”

“Di depanmu persis!” seru Haechan dan Mark, serempak, sontak menyadarkanku keluar dari ketersesatan dalam labirin otakku.

Aku... tidak tahu. Pandangan Renjun, seperti bisa sekaligus tidak bisa melihatku.

“Oke, kamu nggak bisa liat dia.”

Aku langsung berpaling pada Haechan. “Nggak bisa? Jadi dia tahu deskripsi perempuan-rambut-panjang-baju coklat itu dari mana?” tanyaku linglung.

“Kamu cuma... pernah liat,” Haechan melanjut tanpa kebimbangan lagi. “Iya ‘kan?”

Apa-apaan semua ini?

“Itu bener...?” Mark menepuk bahu Renjun dari belakang, pelan. Kurasa dia juga masih bingung.

Lalu, anggukan itu akhirnya keluar. Labirin otakku makin amburadul. Aku tidak paham satu poin pun apa yang sedang terjadi.

“Tapi bener-bener cuma sekedipan mata, sampe kukira aku salah liat,” Renjun menggeser bola matanya ke lantai, menghela napas.

“Kamu liat dia di mana?”

“Ruang tengah.”

Haechan menoleh kepadaku.

Aku praktis menggeleng. Lambat dengan gigiku yang terus menggigiti bibir bagian dalan, mencoba mengorek-ngorek memori.

Namun, ruang tengah dorm adalah ruang favoritku. Terlalu banyak waktu yang kuhabiskan di sana. Aku tidak bisa mengira-ngira kapan tepatnya momentum yang Renjun katakan.

Desah pendek. Haechan memegang tengkuknya selama beberapa saat dengan pandnagan menilik dua orang di ranjang. “Tapi, kenapa kalian bisa sesantai ini?” ucapnya sekonyong-konyong.

Apalagi? Aku melirik Haechan, lemah.

Dia menurunkan tangan dari tengkuk. “Padahal, aku rahasiain soal ini karena satu, kalian nggak bakal percaya, atau dua, kalian bakal takut. Dia bukan manusia. Sekarang—aku ngerti kalian terpaksa percaya dia emang ada, tapi kenapa kalian nggak ketakutan sama sekali?”

Ah, jadi ingat. Itu 'kan pertanyaan awalku untuk Haechan sendiri. Kenapa dia tidak takut kepadaku?

“Apa yang musti ditakuti darimu?” Haechan tiba-tiba berbisik. Agaknya, aku tadi berpikir dengan suara keras.

“Aku... hantu.”

“Tidak kelihatan seperti itu,” jawabnya, menaikkan alis, tersenyum kepada Mark yang tampak penasaran dengan percakapan bisik-bisik kami.

“Tapi... tetap saja kan... Aku ini hantu.”

“Hantu kesayanganku?”

Aku mengerjap mendengarnya.

“Tapi dia bener-bener ada di sini?” Renjun bertanya lagi ditengah respon lambatku. Mendahuluiku.

“Hm. Persis di depan lo. Sekarang mukanya lebih bingung dari kita semua.“

Sadar disindir, kusugar rambut seiring dengan senyum kecut yang tercipta. “Sori,” aku mendesis. Baik. Kenapa aku malah minta maaf?

“Aku nggak kaget soal kamu Chan, tapi sampe Mark Hyung juga?” Secara tidak langsung, Renjun mengakhiri percakapan abusrdku dengan Haechan. Kendati belakangan aku baru sadar dia juga tidak menjawab pertanyaan Haechan yang pertama—kenapa dia tidak takut padaku.

“Kok bisa sih?” sambungnya, lebih terlihat takjub. 

Itu dia; kok bisa? Seandainya ada yang bisa menjawab. Betapa melegakan—

“Tapi kalian inget dia ‘kan?”

—nya....

“Hah?”

Mark tampak tergeragap menerima pandangan menusuk dari kami bertiga. Tidak, mungkin hanya aku yang memberinya tatapan paling tidak bersahabat.

“Tidak, mungkin aku salah ingat—”

“Mark.” Aku menekan suaraku. “Katakan.”

“Molla,” kudengar Haechan memanggilku entah untuk apa.

“Ada apa?” Dahi Renjun turut berkerut. Sudah sewajarnya. Dia tak bisa melihat ataupun mendengarku.

Tidak, aku tidak sedang marah.

“Mungkin aku yang salah ingat,” Mark berucap ragu-ragu. Dia jelas tak tahu berapa lama aku menahan paru-paruku bernapas. “Tapi bukankah kami pernah bertemu dengamu sebelumnya? Tapi saat itu... kau seorang manusia....”

***

“Aduh, tolong jangan bergerak sebentar.”

“Ada masalah?”

“Kalungku. Pengaitnya tersangkut di rambutmu.”

“Ah begitu. Pelan-pelan saja. Rambutku masih bisa ditata ulang.”

“Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu kenapa bagian pengaitnya bisa berada di depan. Sebentar.

“Tidak papa. Aku memperhatikannya, itu kalung yang bagus, ngomong-ngomong.”

“... dari ibuku—oh, ini sudah.”

“Baik-baik saja?”

“Harus disisir lagi sedikit—"

“Bukan rambutku. Kalungmu.”

“Ah. Ya. Kurasa.”

“Syukurlah....”

Dia tersenyum dan aku tertular senyumnya.

***

[END] See You When You Can See MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang