"Dipikir-pikir, kalian belum jawab pertanyaanku. Kenapa kalian berdua bisa sesantai ini? Dia hantu. Nggak takut?” Haechan yang pertama kali berbicara lagi, setelah lenggang panjang, dan ia juga tak menjawab pertanyaan Renjun.
“Kalo aku... lebih ke kaget. Karena awalnya kupikir, dia manusia yang kukenal sebelumnya.”
“Kenal? Ah, oke, nanti dulu. Kalo kamu? Kenapa nggak takut? Dan... kenapa kamu keliatan tertarik banget sampai-sampai ngusulin buat ngebuktiin teoriku tadi? Kenapa kedengerannya... kamu malah pengen liat dia?”
Besi pengebor tengorakku itu bagai menyebar tak tentu arah ketika aku mencoba mendongak, mengirimiku rasa sakit yang menyebar sampai leher.
“Banyak banget pertanyaannya,” kudapati Renjun tersenyum aneh. “Aku balik pertanyaannya; kamu bilang kamu rahasiain dia karena mikir kita nggak bakalan percaya atau bakal ketakutan. Sekarang, aku percaya dan aku nggak takut, kenapa kamu keliatannya tetep mau rahasiain dia?”
Kenapa mereka malah bertengkar?
Haechan terlihat memejamkan matanya selama beberapa saat, menghirup napas dalam. Sebelum sempat mengatakan isi pikirannya, Renjun berucap lagi,
"Tenang aja, nanti juga kami bakal ngerti. Sekarang," tangannya terjulur, "bisa kasih aja kalungnya?"
Mark tampak kebingungan. Tangannya yang menggenggam kalung itu bergerak mundur. Dia mengerling pada Haechan, seperti memintanya cepat mengambil keputusan.
"Pada kenapa kalian?" Renjun bergantian memandangi dua orang itu. Entah bagaimana, aku malah melihat seringai di wajahnya.
"Sebentar," Haechan berkata setengah mendesis. Dia menahan poninya ke atas dan melirik ke arahku. Kami bersitatap. Mata Haechan melebar.
"Kau sudah baikan?" tanyanya seketika.
Mark ikut menoleh.
Aku mencoba tersenyum. Kendati aku tak tahu senyum macam apa yang bisa kuberikan ditengah panas yang menerpa kepalaku ini.
Kurapikan rambutku sedikit. Bahkan sekilas sentuhan saja membuat kepalaku terasa diguncang gempa. Pusing sekali. Aku jelas belum bisa bangun.
"Mark." Syukurlah suaraku masih bisa keluar. "Bagaimana kau... mendapatkan kalung—ku?" Sesakit-sakitnya aku, ini harus kutanyakan bukan? Setidaksiap-setidaksiapnya aku.
Mark memandang telapak tangannya. Lehernya bergerak menelan ludah. "Aku benar-benar takut kalau ingatanku ini salah—"
"Tidak," potongku serak. "Dilihat dari kondisiku, mungkin itu tidak salah."
"Maksudmu?"
Kutatap Haechan. "Selalu, sesuatu terjadi pada tubuhku ketika aku mulai mengingat sesuatu tentang kehidupanku dahulu. Ini pernah terjadi sebelumnya." Mataku memejam, terlalu lelah. "Mark—apakah aku dulu... salah satu dari stylist kalian?"
“Kalungku. Pengaitnya tersangkut di rambutmu.”
Aku melihatnya tadi.
Ruang rias.
Mark dengan pakaian untuk tampil.
Sebuah kalung yang menjuntai ke depan.
Dan tanganku... memegang sisir.
"Kau ingat?"
Tidak. Aku lupa. Aku cuma melihatnya bagai potongan trailer film.
"Jadi benar?"
Diam. Semuanya diam.
Tolong bicaralah. Nyeri ini bisa membunuhku kapan saja.
"Maaf, bolehkah aku memanggil seseorang kesini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] See You When You Can See Me
Fanfiction"sedekat ini, tapi sejauh itu pula." aku terbangun di dorm orang-orang yang sangat kusayangi. tapi sebagai hantu yang hanya bisa diam-diam tersenyum memerhatikan dari jauh. ah, ceritaku tidak secreepy itu kok. malah mungkin-sedikit kelebihan gula...