Oke, aku tidak tahu bagaimana harus memulai bercerita. Karena, aku tidak ingat apa-apa.
Dua hari silam, aku 'terbangun' di asrama besar ini.
Aku mengerang dan mengucek-ucek mataku. Semenit kemudian, bukannya segar aku malah semakin bingung. Ini di mana? Siapa yang membawaku kesini? Dan yang terpenting, siapa aku?
Kulihat jam dinding, pukul setengah empat. Pasti waktu subuh karena ruangan dengan sofa ini remang-remang. Aku berdiri dan berjalan tanpa suara menuju pintu terdekat. Tanganku tertahan di kenop, menelan ludah. Bagaimana jika ada orang jahat di balik pintu ini?
Saat masih sibuk dengan pikiranku, pintu di depanku itu terbuka duluan. Aku ingat, rahangku mendadak menganga. Kaget, iya. Dan lebih kaget lagi karena tiga puluh senti di depan hidungku adalah sosok yang kukenal. Tidak, tidak, bukan hanya aku. Seluruh dunia kenal.
Seseorang yang dikaruniai jenis senyum manis di antara yang paling manis, Na Jaemin.
Tunggu!
Ini… kenapa aku bisa tahu namanya alih-alih namaku sendiri?
Saat itu, nyeri hebat menghantam kepalaku. Aku sampai harus mencengkram lutut agar tidak jatuh. Pandanganku bergoyang-goyang tidak stabil.
"Ah, maaf, kepalaku pus—" Ucapanku tidak selesai karena Jaemin sudah menghilang. Suara dispenser membuatku menoleh ke belakang dan aku baru sadar lelaki itu ada di sana.
Bagaimana... dia bisa lewat?
"Ja-jaemin," panggilku lagi. Aku sadar suaraku kecil dan serak, tapi mestinya Jaemin bisa mendengarnya dalam jarak segini, di ruang yang sepi ini.
Nyatanya dia tetap sibuk dengan mug kopinya, bertingkah seakan aku tidak ada di sini.
Aku mendesis. "Kenapa kamu... tidak menjawab?"
Bukannya menanggapiku, Jaemin justru tersenyum ke arah lain. "Kebangun?" tanyanya.
Aku mengikuti arah mata Jaemin. Oh, sial, aku juga kenal dia yang sedang menguap lebar itu.
Sebenarnya apa yang terjadi, Jagat Raya?
"Lapar, tadi keburu ngantuk, jadi belum sempat makan." Jisung mendekat sambil menggaruk-garuk belakang telinganya.
"Masak aja ramyeon di lemari. Ada banyak varian baru—"
"Aku mau pizza."
Jaemin tampak tercengang. "Tolong sebelum ngomong liat jam dulu, Nak."
Jisung tertawa tanpa perasaan. "Ya udah, ramyeon juga nggak papa. Dua bungkus ya."
"Sori?" Alis Jaemin terangkat satu.
"Ya bikinin."
"Ini anak!"
Aku menonton drama keluarga itu sembari sesekali mengangkat tangan, ragu-ragu ingin menyela.
Haloooo? Permisi, Sijeuni di sini.
Ya, aku benar-benar kenal mereka. Buktinya tebakanku benar, kalau Jaemin tidak akan menang melawan Jisung, 'anak' kesayangannya sendiri. Dia menyerah dan beranjak ke dapur setelah menanyakan ingin dimasak seperti apa.
Gila, padahal aku masih tidak tahu siapa diriku.
"Aku tunggu di kamar Hyung ya!"
Jantungku bertalu-talu tatkala Si Bungsu ini setengah berlari ke arahku yang masih menghalangi pintu kamar Jaemin. Tidak ada tanda-tanda Jisung akan melambatkan langkahnya. Dia… tidak melihatku. Jangan-jangan….
Splash!
Aku menatap telapak tanganku, jeri. Dia menembusku!
"Bagaimana bisa?"
Lampu di kamar Jaemin dinyalakan. Suara keluhan Jeno mengudara dan Jisung segera mematikan lampunya lagi. Namun, meski sekejap, aku yakin aku melihat tubuhku yang tembus pandang.
Setengah tidak percaya, aku menjulurkan tanganku ke tembok. Dan benar, itu menembus. Separuh tanganku ada di balik tembok. Hanya bagian siku ke atas yang terlihat.
Tidak mudah untuk seketika menerima ini semua, sumpah.
Aku ingat, aku berlari keluar, masih tak percaya walaupun sudah menembus jendela dan melayang-layang di udara. Aku berlari jauh dengan tubuh tanpa bobot dan tanpa merasa capai sedikitpun.
Jalanan, mobil, rumah, aku tidak ingat apapun. Aku seperti bayi yang baru lahir. Semuanya asing.
"Ini semua…. Apa-apaan?!" tanyaku berulang-ulang. Oh, ternyata aku bisa memegang rambut panjangku. Kutarik keras-keras—aw, sakit!
Selesai menyiksa diri sendiri, aku berusaha berpikir—syukurlah aku tetap bisa berpikir meski tak punya badan (yang artinya tak punya otak kan?), apa yang harus kulakukan sekarang.
Dan jawabannya muncul begitu saja.
Satu-satunya tempat yang menyimpan ingatanku; asrama NCT Dream.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] See You When You Can See Me
Fanfiction"sedekat ini, tapi sejauh itu pula." aku terbangun di dorm orang-orang yang sangat kusayangi. tapi sebagai hantu yang hanya bisa diam-diam tersenyum memerhatikan dari jauh. ah, ceritaku tidak secreepy itu kok. malah mungkin-sedikit kelebihan gula...