🧷32

417 128 39
                                    

Btw part ini hampir 2x lipat lebih panjang dari chapter kebanyakan, permintaan maaf karena ga update selama 2 minggu.

Btw bab ini penuh penjelasan yang aku sendiri bingung gimana biar kalian ga bosen bacanya. Percayalah aku udah otak-atik sana-sini, edit ini-itu dan ini hasil akhir yang bisa kuusahakan.

Hope you all can enjoy it 🌸☺️🌸

***

Bertelanjang kaki, aku berlari dengan tas terkepit di ketiak; satu tangan memegang sepasang heels, satu lagi berkeringat memegang ponsel. Angin tengah malam menerjang tubuhku yang hanya berlapis kardigan tipis, tapi aku tetap berkeringat; terutama pada mataku.

Jalanan besar mulai terpampang di ujung jalan. Napasku hampir putus bersamaan dengan menghirup debu dari mobil-mobil yang melesat tiada habisnya.

Aku menjatuhkan sandal dan tasku, melangkah mencecap aspal. Mataku mengedar jauh ke kanan dan kiri. Hampir tersedak, pandanganku kembali kepada ponsel. Belum ada konfirmasi atas pesanan taksiku.

Termundur kembali ke trotoar, dengan pemandangan yang memburam dan bibir menggigil, aku mengetik sederet nomor.

Nada sambung selanjutnya serasa begitu merendahkanku.

Aku memekik dengan suara tertahan. Kulemparkan ponselku. Ia membentur sisi trotoar, tergeletak bersama tasku dan heels putihku.

Dan aku mendengar suara aliran sungai di belakang.

***

"Tahu-tahu kudapati diriku berada di atas pagar jembatan.”

“Kau...”

“Aku gila sesaat,” leherku sedikit melengkung karena aku tengah mendongak tinggi-tinggi. “Di hari aku ingin pulang, ingin memperbaiki semuanya, ibuku membunuh dirinya sendiri.”

Pupilnya membesar, tapi aku terus berbicara.

“Ibuku mengiris urat nadinya sendiri. Dia pergi gara-gara cara yang selalu dia lakukan untuk mengekangku.”

“Tapi... dia berlutut kepadaku, demi dirimu—” Nada suaranya mengecil dan dia tak jadi menyelesaikan kalimatnya. Mulutnya terbuka sedikit.

“Serusak itulah hubungan kami.” Helaan napasku terdengar seperti mengidap asma. “Ibuku selalu menaruh pisau dapur di pergelangan tangannya tiap kali aku memberontak sedikit. Dia baru akan berhenti ketika aku berjanji akan selalu menurutinya.”

Kecuali waktu itu. Aku ingat rasa legaku ketika Ibu tak langsung mengancam bunuh diri ketika tahu kalau aku berpacaran diam-diam—siapa yang kemudian tahu, dia lebih memilih membuntiti pacarku, menemukan kebusukannya, dan melemparkan foto-foto perselingkuhannya ke mukaku.

Itulah yang membuatku berani menggunakan kesempatan ini untuk kabur dari rumah. Walaupun aku sudah sering merasa ancamannya itu hanya gertakan untuk mengendalikanku, aku selalu takut Ibu akan benar-benar melakukannya.

Pengecualian pada saat itu memberiku keyakinan dan keberanian yang besar agar melawan untuk pertama kalinya.

“Kami sudah rusak pada hari perginya ayahku dari rumah. Ibuku benar-benar tak memedulikan apa pun, selain terobsesi menjadikanku sempurna. Kau sudah bertemu ibuku ‘kan? Dia masih cantik bukan?” Aku tertawa kecil. “Tapi dia benar-benar tak tertarik menjalin hubungan baru. Ibuku juga selalu mengatakan segunung pelajaran akademik, tiap gigit makanan yang kumakan, pakaian yang kupakai, dan caraku bertutur kata yang dia ajarkan; adalah demi aku bisa menikahi pemuda baik yang kaya raya di masa depan.

Tapi aku tak yakin. Kurasa dia membenci laki-laki gara-gara ayahku....”

Kata-kataku terhenti. Aku berkedip.

[END] See You When You Can See MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang