🧷22 (revisi)

521 112 4
                                    

Semoga nggak ada yg ter-php dgn update revisian ini, ya :D

Saya kelewat gemes karena beneran kurang puas dengan part 22-23 ini, dan gabisa lanjut nulis tanpa revasi dulu.

Saya seneng kalau kalian mau baca ulang, tapi saya sendiri tipe yg malas baca ulang hehe, beneran. Toh garis besarnya tetap sama, jadi gabaca ulang juga gapapa :D

Real updatenya nanti ya, masih butuh diedit. Terima kasih banyak~

***

"Aku tidak tahu tangannya cedera," aku berbisik setelah bungkam beberapa saat.

"Cuma aku dan beberapa staf yang tau," timpal Haechan, sama berbisiknya. Kami masih ada di kantin, berdua menghadap dinding kaca. Jeno sudah pergi barusan. "Beliau memintaku merahasiakannya."

"Kenapa?"

"Karena..." Haechan memiringkan kepala, tatapannya masih terpanah keluar. "Kurasa dia tahu Jeno akan seperti itu."

Senyumku terbias sekilas. Jeno ada di luar, tapi dia tidak melihat kemari meski tahu kami menonton. Ia mengatakan entah apa yang membuat pria itu melepaskan cengkramannya di lengan Manager Seora. Lantas, Jeno maju selangkah, menempatkan Manager Seora di belakangnya.

"Kenapa kau masih di sini?"

Aku menoleh. "Maksudmu?"

"Tidak kesana?" Pertanyaan Haechan membuatku melebarkan mata. "Berbeda dengan Jeno, kau tidak usah jauh-jauh memutar. Tinggal menembus ini saja."

"Kau ini kenapa?" ringisku, mencoba menahan godaan. Bohong besar kalau aku tidak penasaran. Hiruk-pikuk suasana kantin membuat pendengaran tajamku sekalipun susah mendengar apa yang terjadi di luar sana. "Lupa ya dulu kita bertengkar karena aku terlalu mencampuri urusan mereka?"

"Ah, malam itu?" lontar Haechan, seolah baru teringat. Padahal itu hari sebelum dia sempat kehilangan kemampuan untuk melihatku. Dasar, ya. "Itu juga malam saat aku menerima kabar soal cederanya Manager Noona."

"Apa mak—" Omonganku terhenti. Telepon. Aku ingat malam itu Haechan menerima sebuah telepon sebelum aku masuk ke kamarnya. "... benarkah?"

"Iya, Molla. Bayangkan, saat aku baru menerima kabar kalau salah satu managerku terluka sewaktu menghalau fan garis keras kami, kamu malah mengatakan yang tidak-tidak soal masa lalunya."

Aku sontak menutupi wajahku, malu berat. Apa sih yang aku yang dulu sudah lakukan?

"Tapi kali ini aku juga penasaran," ungkap Haechan lagi. "Aku akan sangat tertolong kalau kau jadi mata-mataku dan mendengarkan apa yang terjadi di sana."

Aku mendesah keras-keras. "Kau menyebalkan juga."

"Baru tahu?" Haechan menahan tawanya. "Yah, aku juga harus mempersiapkan jawaban yang tepat saat Jeno menginterogasiku nanti," dia mengangkat bahu.

***

"Tolong pergi, jangan membuat keributan di sini."

"Kamu akrtis di tempat ini?" Pria itu tampak memaksakan senyum. Sebenarnya, dia lumayan tampan. Aku seperti pernah melihatnya di suatu tempat—mungkin di teve karena tampangnya mencukupi untuk jadi semacam idol atau aktor. "Begini, Dik, aku mengenal perempuan di belakangmu itu. Kami punya urusan—"

"Noona mau bicara dengannya?" potong Jeno, sedikit menoleh ke belakang.

“Kenapa kau ada di sini?” Manager Seora bertanya balik dengan raut keruh.

“Ini bukan urusanmu, pergilah,” usiran langsung Manager Seora membuatku menggeleng-geleng. Dia benar-benar tak mempertimbangkan apapun.

“Singkirkan tanganmu,” kudapati Manager Seora menekan suaranya akibat Jeno yang tak jua mau menyingkir. Tetap berdiri di tengah-tengah, menghalangi dua orang itu bertatap muka. 

[END] See You When You Can See MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang