🧷15

471 125 6
                                    

Untuk pertama kalinya, aku mengasihani diriku sendiri.

Subuh ini, baru kusadari sebelumnya aku tak menyediakan waktu untuk itu. Aku terlalu sibuk dengan hidup baruku. Aku merasa menjadi bagian dari mereka. Aku terlalu bahagia.

Ah, anginnya kencang. Andai aku tersentuh udara, mungkin sekarang rambutku sudah awut-awutan. Tapi mereka tetap rapi, diam di tempat. Berbeda jauh dengan pikiranku yang terpecah sana-sini.

Trotoar ini kian sepi manusia. Aku melihat hantu berbagai jenis berkeliaran. Aku tidak takut—selain karena adalah bagian dari mereka, mereka juga tidak tertarik pada sesama hantu. Kuhitung, ada empat hantu yang mengikuti pria sempoyongan berbau alkohol. Ya, hantu-hantu lebih suka berinteraksi dengan manusia.

Aku juga begitu. Haha.

Mendadak, tubuhku terasa capai. Aku malas untuk melanjutkan jalan dan mengelilingi malam. Dengan tumpuan tangan kanan, pelan-pelan kubaringkan diri tak peduli tempat.

Ini enaknya menjadi hantu. Aku tak perlu tempat tinggal. Aku bisa menetap di mana saja selain sebuah rumah asrama.

***

Tapi, Siapapun Yang Mengirimku Kesini, tampaknya dia memang tak menghendaki hidupku tenang.

Mungkin, melihatku damai telentang di pinggir jalan membuat penghuni langit terganggu. Sesuatu pasti mempercepat datangnya pagi, memanggil matahari agar cahayanya menerpa mata tertutupku.

Aku tidak tidur. Tepatnya, aku mencoba tidur. Kupikir, betapa kerennya manusia hidup yang bisa melupakan semuanya sebentar saat mereka terlelap. Meski keadaan jelas belum berubah kala mereka bangun, setidaknya ada sekolom jeda. Setidaknya otak mereka takkan terasa seperti mau meletus.

Aku mengerjap, membuka mata perlahan. Dari balik gedung-gedung tinggi di seberang jalan, sinar matahari menyelusup membentuk garis-garis panjang.

Tapi, bukan itu yang membuatku terpaku.

Selamat Ulang Tahun, Jeno NCT Dream.

"Hah?!" Aku mengerahkan tenaga untuk bangun. Andaikata aku manusia tulen, wanita yang tengah berjalan santai dengan anjingnya ini pasti akan mengumpatiku kaget.

Aku tidak peduli. Perhatianku sepenuhnya tersedot ke layar besar pada gedung yang menanyakan klip-klip pendek Jeno dengan tulisan selamat,  disertai dengan do'a-do'a mengenai kesehatan, kebahagiaan, ataupun karir.

Sial. Jeno ulang tahun hari ini? Kenapa harus hari ini? Aku belum siap bertemu muka dengan Haechan lagi.

***

Aku cuma akan mengintip sebentar.

Aku cuma akan mengintip seben—

"Noona!"

Mantraku langsung menguap. Aku spontan menyembunyikan diri di balik tembok. Padahal itu Chenle. Betapa panik membuatku susah mengenali suara member.

Aku berdehem sebelum berusaha mengintip siapa-siapa saja yang ada di ruang latihan.

Chenle, Manager Seora dan manager-lelaki-entah-siapa, beberapa staf, juga Jisung. Tidak ada Haechan. Tapi, di mana Jeno? Kuberanikan diri masuk pelan-pelan.

"Kuenya ada di mana?"

"Masih dihias sama Renjun sama Haechan Hyung," jawab Jisung.

"Apa masih sempat?" 

"Jangan khawatir, Noona. Serahkan pada Jaemin Hyung."

Lewat percakapan singkat itu aku bisa mengetahui beberapa hal. Terima kasih untuk mereka.

Pertama dan yang paling utama, Haechan tidak ada di sini.

Kedua, Jeno benar ulang tahun hari ini. Ini mereka tengah menyiapkan pesta kecil-kecilan. Pun, dengan bantuan Jaemin, mereka mengusahakan agar Jeno datang lebih lambat.

Aku mengendap-endap ke arah sebuah ruang yang tampak paling sibuk. Benar dugaanku, di sana penuh dengan dekorasi ulang tahun lengkap dengan balon warna-warni. Aku tak tahu ini sebelumnya ruangan apa, yang jelas ada bekas disingkirkannya barang-barang dan kini tempatnya diganti oleh beberapa kamera.

"Itu banner-nya bengkok, lebih naikin sebelah kanannya."

"Gini?"

"Terlalu naik, turun dikit."

"Katanya bengkok!"

"Makanya kira-kira naikinnya! Dikit aja kataku!"

"Aish." Aku menepuk-nepuk pipi, menyadarkan diri. Sekarang bukan saatnya menonton Chenle dan Jisung berkelahi. Aku cuma ingin mengintip—

"Kuenya datang~"

Badanku kontan membeku. Aku tak berani membalikkan badan. Ini saat dimana aku yakin sistem tubuhku tidak bisa menghasilkan keringat. Karena jika bisa, itu pasti terjadi sekarang.

Kontrol gerakku belum kembali ketika Renjun sampai ke lingkup penglihatanku. Dia masuk dengan cara menembus tubuhku.

"Ya ampun, siapa yang taruh meses sebanyak ini?"

"Haechan, tuh. Bandel dibilanginnya," dengus Renjun seraya meletakkan kue tart di meja tersedia. 

Aku menahan napas; menunggu ekspresi kesal, marah, mencemooh, dan aneka kemungkinan lainnya yang akan kuterima sebentar lagi. Aku juga bersiap harus memasang wajah macam apa demi menunjukkan bahwa aku belum melupakan pertengkaran kami.

Aku yakin bisa menghadapi Haechan, jika dia ... tidak lantas jadi mengabaikanku begini.

"Diem, udah. Yang penting rasanya enak." Haechan duduk di salah satu kursi. Posisinya kini menghadapku.

Segera kutatap dia tajam-tajam. Jadi begini cara mainmu? Pengecut sekali.

Haechan malah melarikan pandangannya ke sekitar, berlagak mengamati hiasan-hiasan. Tangannya juga dengan jahil memainkan balon, memukul ke sembarang arah dan memicu teriakan member lain.

Ketika salah satu lemparan balonnya itu menembusku, barulah dengan menggigil aku sadar; ini bukan bagian dari perseturuan kami.

Mata Haechan sungguh-sungguh tak melihat sosokku ada.

***

[END] See You When You Can See MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang