Jaemin ngambek.
Dia memisahkan diri dan tidak berucap satu patah kata pun dalam perjalanan menuju kantor.
Dia memang terlihat kooperatif dalam rapat antara member dan pihak-pihak yang terlibat dalam rekaman esok—pelatih vokal, komponis, staf dan lain-lain, tetapi hanya sebatas itu saja. Begitu mereka saling membungkuk berpamitan, sikap profesionalnya terbang. Jaemin memasang mimik dinginnya lagi.
Yah, wajar. Susu mungkin masih bisa dimaafkan, tapi stroberi? Jikalau Jaemin vampir, maka bawang putihnya adalah buah merah itu. Baby nctzen pun tahu TMI itu.
"Drama rumah tangga." Ini kata Renjun yang terlalu menikmati hidupnya sendiri.
"Serasa mau cerai terus kami dipaksa milih ikut siapa," decak Chenle out of the box. Jisung terpingkal. Mereka juga mana mau ambil pusing. Ngambeknya Jaemin mungkin bukan yang pertama dalam minggu ini. Alias, lagu lama.
Satu-satunya yang kalang kabut adalah Jeno sendiri. Karena keduanya sama-sama ada di posisi rapper, selepas rapat mereka biasanya akan banyak bertukar ide. Tapi ini?
Yep, Jeno menyusahkan diri sendiri lantaran tidak bisa membendung keisengannya.
"Masih marahnya?" Jeno mengambil tempat di kursi hadapan Jaemin. Mereka masih berada di ruang rapat, menunggu manager yang entah mau bicara apa.
"Maaf, deh. Bercandaku kelewatan."
Jaemin bergeming.
"Oke, caraku salah," pungkas Jeno. "Tapi denger, aku serius khawatir sama kesehatan kamu, lho."
Demi Tuhan, senyumnya Jeno itu menembus palung hati terdalam. Standing applause untuk Jaemin bisa tetap fokus pada ponselnya.
"Aku ngitung selama ini. Pagi, siang, sore, itu jadwal minum kopimu kan? Ditambah kamu juga belum batasin makan gula. Gimana nggak khawatir?" Jeno memelas. "Maafin, ya? Ya?"
Apa tadi?!
Seorang Jeno... aegyo? Aku menganga lebar. Ternyata ada untungnya aku tak kasat mata!
Kurang beruntung, Renjun yang sedang mengambil selfie tak sengaja melihat semuanya dari pantulan kamera. Dia seketika menoleh ke belakang. Plus ekspresi seakan teorinya tentang alien baru saja tervalidasi.
"Apa?" tanya Jeno, salah tingkah.
"Bisa diulangi?"
"Apanya?"
"Sesuatu yang menjijikan tadi," Renjun bergidik berlebihan.
"Eh, kenapa?" Jisung menyahut penasaran.
Jeno meringis samar. "Nggak ada. Nggak ada apa-apa! Udah sana!"
"Jeno Hyung tadi ngapain, Hyung?" Chenle melobi Renjun yang belum meluluskan tampang mualnya.
Jeno baru hendak bangkit untuk mencegah Renjun terus mendramatisir ketika segenggam tangan menyentuh pergelangan lengannya.
Bertopang dagu, aku tersenyum di antara mereka.
"Tadi nanya apa?" tanya Jaemin, datar.
"Eh, nanya? Kapan?"
"Pas rapat."
Jaemin tidak kebal Jeno, begitupun sebaliknya.
Aku tak yakin mana yang membuat Jaemin luluh, perhatian atau benar aegyo itu. Terlepas, mereka memang kelihatan tidak bisa marahan lama-lama.
"Oh?" Jeno duduk lagi. "Aku cuma masih nggak yakin ejaan pas lirik di akhir—"
"Serius? Aegyo?!"
Meski misi Jeno berhasil, dia harus tahan banting untuk ejekan seminggu ke depan.
Kasihan, tapi aku tidak bisa bilang tidak suka pada penderitaan manisnya ini.
***
Aku bingung. Aku ingin melihat wajahku, tapi tidak ada cermin yang bisa memantulkanku.
Rambutku panjang sepunggung, hitam pekat warnanya. Dari pertama bangun, aku mengenakan gaun rumahan coklat selutut. Entahlah, mungkin ini pakaianku sewajtu mati atau apa.
Ah, aku bisa melihat ujung hidungku, yang artinya hidungku lumayan mancung. Dari hasil meraba-raba, bibirku berbentuk tipis dan teksturnya sedikit kasar. Sedangkan mataku kecil, tanpa kelopak mata ganda. Yang paling membuatku penasaran adalah bentuk wajahku. Sepertinya oval runcing.
Bila digambar di kepala, aku melihat seorang gadis setinggi Renjun dengan rambut panjang dan tatapan tajam. Aku menyukai gambaran itu. Sepertinya cantik.
Gadis ya, gadis.
Bila ingat itu, rasa kesal langsung menderaku. Kenapa hantu/setan/arwah tetap memiliki jenis kelamin? Tidakkah setelah mati semua manusia menjadi sama?
Bukan apa-apa, usai melihat Jeno dengan rambut basah sesudah mandi… aku jadi tidak bisa masuk kamar yang pintunya tertutup! Selangkah pun! Padahal menembus tembok adalah kemampuan baru yang sangat kubanggakan.
Jangan-jangan kalau melihat lebih dari yang kemarin, aku bisa mati untuk yang kedua kalinya? Hantu macam apa aku ini?
Berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran bodoh itu, aku lantas mengubah posisi baring ke arah timur. Cahaya matahari sudah membayangi gorden. Awalnya aku sempat senang karena sudah bosan, tapi belum ada satupun member yang keluar dari kamarnya. Entahlah, mungkin masih tidur. Aku tidak berani mengeceknya, ingat?
Ting tong! Ting tong!
"YAAA!"
Aku berjengit.
Apakah itu suara pemilik kamar yang kutempati sekarang sekaligus yang kutungu-tunggu? Oya, Renjun memang sempat bilang dia akan pulang hari ini! Kupacu langkahku sampai menembus pintu depan.
Di luar sudah terang dan benar, itu Lee Haechan. Tampan dengan warna rambut barunya, coklat mendekati merah bata. Satu tangannya mengutak-atik papan kunci, satu lainnya memegang ponsel yang sudah tersambung ke kontak yang dinamai 'manager'.
"Sialan, kalian sengaja 'kan!" omelnya ketika monitor kecil yang tertempel di pintu menampilkan 'kode salah'.
Telepon itu diangkat. Haechan berdehem, menetralkan suara sebelum bicara. "Aku baru sampai di rumah, iya, nggak bisa masuk. Sandinya diganti ya?"
Oiya, sistem keamanan rumah ini menggunakan kata sandi yang mempermudah ketimbang menggunakan kunci manual. Repot jika masing-masing harus punya satu kunci. Belum lagi kalau hilang.
Ya ampun, aku ingat melihat para member tertawa-tawa iblis semalam. Apakah mereka benar-benar merencanakan hal seperti ini?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] See You When You Can See Me
Fanfiction"sedekat ini, tapi sejauh itu pula." aku terbangun di dorm orang-orang yang sangat kusayangi. tapi sebagai hantu yang hanya bisa diam-diam tersenyum memerhatikan dari jauh. ah, ceritaku tidak secreepy itu kok. malah mungkin-sedikit kelebihan gula...