Part 4

366 48 2
                                    

-Seseorang bisa berubah karena dua kemungkinan. Pemikirannya yang terbuka, atau hati dan egonya yang terluka-

.
.
.
.
.
🐥🐥🐥

Ara baru selesai makan malam bersama teman-temannya, saat ini ia sedang membantu Isti mencuci piring bekas mereka makan, sedang Fatimah dan Enggar merapikan ruang tengah yang sedikit berantakan. Setelah semuanya selesai, Ara membaringkan tubuhnya di kasur yang berada di kamarnya dan Enggar. Saat mata Ara mulai terpejam dan kesadaran mulai merenggutnya ke alam mimpi, gadis itu dikejutkan dengan nada dering ponselnya, tanda ada panggilan masuk. Dengan kesal Ara menggeser layar ponselnya ke atas. 'Siapa yang berani mengganggu waktu istirahatku' batin Ara kesal. Dilihatnya nama -Rasyid Fauzi- tertera di layar ponselnya. Rasa kesalnya menghilang entah kemana.

"Hallo, luwak white coffee passwordnya?" Canda Rasyid di seberang sana menirukan salah satu iklan di televisi. Ara terkekeh mendengarnya. 'Untung cakep lu Syid' batin Ara.

"Nyaman aja tapi nggak jadian." Balas Ara yang juga menirukan iklan kopi dengan logo hewan luwak tersebut tetapi dengan kalimat yang ia buat sendiri.

"YAK, TIGA JUTA RUPIAAAAAH." Teriak Rasyid heboh.

"Apaan sih Syid, udah malem pake teriak-teriak. Ditegur pak RT baru tahu rasa nanti." Ara dapat mendengar gelak tawa Rasyid dari seberang sana. Entah mengapa hatinya menjadi tenang dan damai, kalau boleh ia meminta, Ara ingin mendengar tawa ini hingga akhir hayatnya.

"Hehe ya maaf. Habis kamu lucu sih kaya luwak. Bisaan jawabnya, emang mau jadian sama aku? "

Seketika pipi Ara bersemu merah. Ia malu mengingat apa yang ia katakan tadi. "Kamu jahat, masa kamu samain aku sama hewan." Ara merajuk untuk menutupi rasa malunya.

"Uluh tayang-tayaaang. Ara-nya Rasyid jangan ngambek ih, jelek tau." Rasyid semakin gencar meledek Ara. Sedang Ara yang kepalang malu mencoba mengalihkan pembicaraan agar Rasyid berhenti menggodanya.

"Eh iya Syid, jum'at malam besok aku berangkat ke Jakarta, ada acara." entah untuk apa Ara berkata seperti itu, ia hanya ingin mengalihkan topik pembicaraan.

"Oh ya? Naik apa Ra? Wah kebetulan sekali, jadi perusahaan tempatku bekerja akan mengadakan acara gathering, tapi aku belum tahu mau ajak siapa, malas juga datang sendiri sementara teman yang lain mengajak anak dan istri mereka, mungkin sekalian ajang piknik bagi mereka. Gimana kalau kamu ikut acara itu Ra?"

"Aku naik bus Damri turun di stasiun Gambir Syid. Apa boleh kamu bawa orang asing untuk ikut acara itu Syid?" tanya Ara ragu.

"Ya boleh atuh Ra. Pokoknya aku jemput di Gambir sabtu pagi ya. Aku nggak terima penolakan. Sudah dulu Ara, sampai bertemu hari sabtu pagi di stasiun Gambir."

Ara menghela nafas pasrah setelah terdengar sambungan telfon diputus sepihak oleh Rasyid, ia ragu akan hal ini. Apa ia terlalu nekat? Ara lalu menghubungi mbak Fitri dengan maksud untuk meminta izin, tanpa ia sangka ternyata mbak Fitri mengizinkannya. Beliau percaya bahwa Ara sudah dewasa, bisa menjaga diri dan membedakan mana yang baik dan buruk untuk dirinya. Lagi pula yang akan membawa Ara adalah teman masa sekolah adiknya, jadi ia tak perlu khawatir.

🐥🐥🐥

Bus Damri yang ditumpangi Ara mulai berjalan lambat meninggalkan stasiun Tanjung Karang. Ara melihat jam diponselnya yang menunjukkan pukul 10:02 WIB. Ara mulai memejamkan mata, ia tak ingin mengantuk dan kelelahan besok karena malam ini tidak tidur.

Setelah melalui jalan darat dan menyebrangi selat sunda selama 7 jam perjalanan.  Sampailah Ara di stasiun Gambir tepat saat adzan Subuh berkumandang. Ara bergegas mengambil kopernya di bagasi bus lalu menyeretnya menjauhi kerumunan dan mulai mencari musholla.

Ini pertama kalinya bagi Ara menginjakkan kaki di Ibu Kota Jakarta, tapi tidak ada sedikitpun rasa takut yang menghantui pikiran Ara. Saat lulus SMA dulu, ia bahkan berangkat sendiri menuju kampung halaman ayahnya di Magelang untuk mendaftar kuliah. Jadi bagi Ara, ke Jakarta seorang diri untuk pertama kali bukanlah hal yang luar biasa, ia bisa memanfaatkan ponsel pintarnya sebagai penunjuk jalan. -Anak Lampung tak kenal takut- pikir Ara, ya meskipun kenyataannya dia adalah keturunan asli Jawa.

Selesai sholat, Ara duduk di teras musholla, ia melihat keadaan sekitar stasiun. Dari seberang pagar stasiun Gambir Ara terkagum melihat betapa indahnya tugu Monas saat lampunya masih menyala dan dengan semburat orange di langit menandakan matahari akan terbit sebagai latar belakangnya. Katakanlah Ara norak, buru-buru Ara memotret tugu monas yang hanya terlihat puncaknya itu dengan kamera ponselnya. Terlihat notifikasi WhatsApp, ia lalu membukanya.

5 Panggilan Tak Terjawab
Rasyid Fauzi

Ara langsung menghubungi Rasyid. Di detik ke dua Rasyid menjawab panggilannya.  "Assalamu'alaikum, Syid."

"Wa'alaikumussalam. Heh, kamu dimana? Dari tadi dihubungi nggak bisa, aku takut kamu hilang tau." Terdengar nada khawatir dari seberang telfon. Rasyid benar-benar takut jika terjadi sesuatu hal yang buruk pada Ara. Gadis itu terkekeh mendengar Rasyid yang uring-uringan.

"Aku baru sholat Subuh di Musholla, eh malah terlena melihat keindahan monas, maaf ya. Kamu dimana?" Ara berjalan menjauh dari Musholla, ia menyeret kopernya mencari Rasyid.

"Aku di parkiran pintu masuk. Kamu tunggu di Alfamidi dekat situ, aku kesana dan kamu jangan kemana-mana. Berhenti bikin aku khawatir anak nakal."

Ara memutus sambungan telfon karena kesal disebut anak nakal oleh pria itu. Ia menuruti perintah Rasyid dengan menunggu di depan Alfamidi. Tak lama sosok yang Ara tunggu datang. Gadis itu terpaku melihat betapa tampan dan gagahnya Rasyid yang berjalan ke arahnya. Tubuh atletis pria itu dibalut jaket boomber warna biru tua dan kakinya yang jenjang ditutupi celana jeans warna biru. Ara terkesiap saat Rasyid berada tepat di depannya.

"Hey, malah nglamun. Berangkat sekarang yuk." Ajak Rasyid yang hanya dijawab Ara dengan anggukan kepala. Rasyid mengambil alih koper milik Ara, menyeretnya menuju parkiran, gadis itu hanya mengekor di belakang.

Setelah tiba di tempat motor Rasyid terparkir, Rasyid memberi helm kepada gadisnya. Kesal karena Ara tak kunjung menerima helm tersebut, Rasyid langsung memasangkannya ke kepala Ara.

"Melamun terus, lelah ya? Sudah makan?"

Ara hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban. Rasanya ia masih tidak percaya. Berada di ibu kota, dengan Rasyid yang berada di depannya. Detak jantungnya berpacu gila, 'Rasyid gilaaaaa, bisa-bisanya dia santai banget ketemu aku. Sedang aku deg-degan kaya orang kasmaran gini'  batin Ara. Gadis itu lalu naik ke motor Rasyid karena Rasyid sudah naik terlebih dahulu.

Motor yang mereka tumpangi melaju membelah padatnya jalanan Jakarta Pusat pagi itu, Rasyid mengendarai motornya dengan pelan karena macet. Ia lalu membelokkan motornya memasuki jalan tikus untuk memangkas waktu perjalanan. Tak jauh dari jalan utama, ia berhenti di pinggir jalan tepat di samping gerobak penjual bubur ayam.

"Kita sarapan dulu ya Ra." Ucap Rasyid setelah mereka turun dari motor.

"Bang, buburnya dua makan sini." setelah mengatakan pesanan mereka pada penjual bubur itu, Rasyid mengajak Ara duduk dikursi yang disediakan.

Tak lama pesanan mereka datang, mereka langsung makan dengan lahap karena lapar. Ara tak sempat makan semalam sebelum berangkat, begitu juga dengan Rasyid yang berangkat pukul 2 malam dari Tangerang Selatan agar gadisnya tidak menunggu terlalu lama. Biarlah ia yang menunggu Ara, batin Rasyid.

Mahal Kita, Mas! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang