-Untuk kamu anak pertama. Tetaplah berdiri walau tak punya alas kaki, tetaplah berjalan walau tanpa arah dan tetaplah tersenyum saat pulang. Keluargamu ingin kau tetap bahagia walau pundakmu penuh luka-
.
.
.
.
.
🐥🐥🐥Ara membidik gambar tugu Jogja menggunakan kamera yang menggantung di lehernya. Seperti yang Ara bilang kemarin, selepas subuh mereka semua berjalan-jalan santai menikmati udara segar di sekitar tugu yang menjadi salah satu kebanggaan warga Jogja.
Suasana yang belum begitu ramai meguntungkan Ara dan rombongan, mereka bisa bergantian berpose di depan kamera dengan tugu Jogja sebagai latar belakang tanpa rasa malu.
"Cari sarapan yuk Ra, laper." rengek Enggar.
"Kita balik ke hotel sekarang?" tanya Ara
"Nggak mau, bosen." jawab Inggit, Andin, Zahra dan Firda kompak.
Ara dan Enggar menatap mereka dengan tatapan heran. Ada apa dengan adik-adik mereka?
"Ya udah kalian mau makan apa?" tanya Ara akhirnya.
"Mangut lele." jawab Andin dengan mata berbinar
"Padahal gua udah ngebayangin duduk cantik di resto hotel sambil ngopi." sahut Enggar sambil berlalu pergi.
Mereka semua mengekori Enggar mencari mangut lele yang diinginkan Andin. Ara berjalan paling belakang, disaat seperti ini Ara harus banyak mengalah mengikuti kemauan adik-adiknya.
Setelah berkeliling selama sepuluh menit, mereka akhirnya menemukan mangut lele yang dimaksud Andin. Meski hanya cabang dari mangut lele mbah Marto, semoga rasanya tetap seotentik mangut lele mbah Marto asli.
Enggar meminta Ara dan yang lain untuk duduk sedangkan ia akan memesan makanan mereka di meja pesan.
"Permisi bu." ucap Enggar pada seorang wanita paruh baya yang ia pikir sebagai pelayan.
"Monggo, ajeng pesen nopo mbak?" jawab sang ibu.
(Silahkan, mau pesan apa mbak?)"Saya Enggar bu, Enggar Devian, bukan Ajeng. Ibu namanya siapa?" sahut Enggar sembari menjabat tangan sang ibu.
Beberapa orang yang kebetulan berada di sekitar Enggar tertawa melihat tingkah gadis itu yang justru mengajak si ibu pelayan berkenalan.
Ara yang melihat keramaian dari tempat Enggar berdiri buru-buru menyusul sang sahabat. Dan benar saja, Enggar masih bersikukuh bahwa bukan ia yang bernama Ajeng. Ara yang tau bahwa sahabatnya itu sedang dikerjai malah ikut tertawa.
"Apa sih Ra? Aneh deh orang Jawa nih, heran gua. Udah dibilang gua Enggar bukan Ajeng, masih aja ngeyel." tanya Enggar kesal.
"Kulo Ara bu." (saya Ara bu)
Ara yang tak kalah iseng malah memperkenalkan diri kepada pelayan tersebut, tak ayal membuat beberapa pelayan lain ikut tertawa.
"Kulo Ningrum, mbak Ara. Mbak Ara ajeng pesen nopo?" (Saya Ningrum, mbak Ara. Mbak Ara mau pesan apa?)
"Pesen mangut lele bu, enem. Kaleh unjukane wedang jeruk anget enem bu. Di dahar teng mriki." (Pesen mangut lele bu, enam. Sama minumnya jeruk anget enam bu. Makan disini.)
"Ah ntah lah. Ribet banget Jawa." ucap Enggar kesal karena tak mengerti pembicaraan Ara, gadis itu berlalu pergi menuju meja tempat adik-adiknya berkumpul.
"Asalnya dari mana mbak?" tanya bu Ningrum saat Enggar sudah berada di tempat duduknya.
"Saking Lampung bu. Ibu nya bisa bahasa Indonesia to?" tanya Ara sopan seraya menggoda bu Ningrum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahal Kita, Mas!
RomansaKalau sekedar berniat singgah, aku hanya akan memberi mu kopi, bukan hati!