-Patah hati terberat adalah saat kita memohon kepada Tuhan bukan untuk menyatukan melainkan untuk melupakan-
..
.
.
.🐥🐥🐥
Ara hanya mengaduk-aduk makanan yang ada di piringnya tanpa berselera untuk makan. Tiba-tiba ia merindukan keluarganya yang ada di rumah, rasanya ia sudah lama tidak pulang kampung, rasa bersalahpun menuyusup dalam hati karena belum bisa pulang menemui keluarganya.
"Makan woy, diaduk terus itu nasi. Cepet habisin, nanti ayam mu di kampung mati baru tau rasa kau." Tegur Enggar, teman sekamar Ara. Ajaibnya Ara langsung menuruti perkataan sahabatnya itu, Ara teringat ia pernah melihat ayahnya memanen padi dan memprosesnya menjadi beras. Hatinya terasa teriris melihat betapa beratnya perjuangan seorang petani dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Oke, itu agak berlebihan. Tapi setidaknya hal itu bisa menjadi alarm bagi Ara dan kawan-kawannya untuk selalu menghabiskan makanan mereka.
"Eng, pingin pulkam." Rengek Ara pada Enggar, sahabat Ara sejak masih duduk di bangku sekolah dasar.
"Mau ngapain lu pulkam?"
"Kangen aja sama orang rumah." Jawab Ara sambil mengarahkan kamera ponsel nya untuk membidik makanan yang ada di piringnya. Ia lalu mengirimkan foto itu kepada Faiz sebagai bukti bahwa ia sudah makan. Tradisi itu sudah mereka lakukan sejak awal mereka berpacaran dua tahun yang lalu.
Lama tak mendapatkan balasan dari orang yang Ara tunggu, ia pun meletakkan ponselnya dan kembali fokus menghabiskan makanannya.
Tak lama ponselnya berdering tanda ada panggilan masuk. Ia melihat nama Andin Anak Ibu tertera di layar ponselnya, rupanya panggilan dari sang adik. Gadis itu lalu menggeser layar ponselnya ke atas.
"Hallo, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Jawab orang yang ada diseberang telfonnya, rupanya sang ibu. Seketika hatinya gerimis haru, rindu yang membuncah sedikit terobati setelah mendengar suara orang yang telah membawanya lahir ke dunia.
"Ibu, gimana kabarnya? Aku kangen."
"Alhamdulillah baik, kamu gimana kabarnya? Sudah makan? Ibu juga kangen, kamu kapan pulang?"
"Ini baru selesai makan bu, nanti aku pulang kalau sudah selesai UAS ya bu." Ara tak bisa menyamarkan suaranya yang bergetar menahan tangis, buru-buru ia menghapus kasar air mata yang dengan lancang mengalir di pipinya, sungguh ia merindukan keluarganya. Hidup merantau dan terpisah dari orang yang disayang menyadarkan ia betapa berharganya sebuah pertemuan. Tiga tahun sudah Ara tinggal di Bandar Lampung meninggalkan keluarga dan kampung halaman nya.
"Apa nggak bisa pulang minggu ini aja mbak? Barusan ibu dapat telfon dari calon pembeli rumah kita. Mereka bersedia membeli rumah kita. Tadi ibu sudah telfon bapak, kata bapak kita urus transaksi jual belinya tidak usah menunggu bapak pulang dari Batam." ayah Ara memang sedang berada di Batam untuk bekerja karena sadar tidak ada yang bisa beliau kerjakan di kampung halaman sang istri.
"Alhamdulillah, ya sudah kalau begitu besok pagi Ara pulang ya bu."
"Iya mbak, hati-hati di jalan ya. Ibu tutup dulu telfon nya, Wassalamu'alaikum."
"Iya bu, Wa'alaikumussalam." Hati Ara membuncah, rasa lega menyusup dalam relungnya. Harapan untuk hidup layak seperti teman-teman kini terbuka lebar. Enggar yang tak sengaja mendengar percakapan ibu dan anak itu turut senang. Ia adalah saksi hidup bagaimana badai masalah tak henti menghantam kehidupan sahabat yang sudah ia anggap seperti saudara ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahal Kita, Mas!
RomansaKalau sekedar berniat singgah, aku hanya akan memberi mu kopi, bukan hati!