Part 28

187 17 0
                                    

-Dia adalah orang yang selalu hadir dilamunan tanpa memaksaku untuk memilikinya-
.
.
.
.
.
🐥🐥🐥

Tepat saat adzan maghrib berkumandang, mobil yang Ara kendarai tiba di jantung kota Jambi. Ia bergegas mencari masjid terdekat yang mampu ia jangkau sesegera mungkin.

Setelah menemukan masjid, Ara bergegas turun dengan membawa mukena dan sajadahnya. Gita sengaja menyiapkan alat sholat pribadi untuk Ara agar gadis itu tak perlu mengenakan mukena umum yang disediakan masjid.

Selesai sholat dan berdoa, Ara tak langsung bangkit. Ia membuka aplikasi maps yang ada di ponsel pintarnya untuk mencari hotel terdekat yang ada di kota Jambi.

Ara menemukan satu hotel yang sekiranya cocok sebagai tempatnya beristirahat malam ini. Tak terlalu mewah, tarifnya hanya 150 ribu per malam.

Sebelum melakukan reservasi, Ara menyempatkan diri membeli ayam bakar di rumah makan yang ada di depan hotel sebagai bekal nya makan malam ini.

Ara baru bisa istirahat dengan nyaman setelah selesai mandi, makan malam dan melaksanakan sholat isya. Ia akan tidur nyenyak malam ini, menyiapkan banyak energi untuk perjalanannya esok hari bukan suatu perkara mudah. Gadis itu langsung tertidur pulas begitu tubuhnya terbaring di atas kasur.

🐥🐥🐥

"Pak, beres nganter ayam gua mau ke rumah om Suwardi ya? Mobil gua bawa." pamit Rasyid pada ayahnya.

"Sini duduk dulu samping gua, kopi belum habis ini."

Rasyid patuh, ia duduk di samping ayahnya sambil menyalakan sebatang rokok. Mereka sedang ada di rumah belakang.

"Lu nggak capek mas? Kemaren sore baru pulang kerja langsung ke peternakan. Hari ini harusnya libur bisa lu pakai istirahat, malah masih ngurus pesanan. Sekarang pamit mau pergi lagi, tubuh lu butuh istirahat mas. Jangan dzolim ke diri sendiri." ujar ayah Rasyid menasehati.

"Gua kan butuh modal gede pak buat nikahin anak orang." jawab Rasyid santai, ia menghisap rokoknya dalam dalam.

"Mas, dengerin gua. Apa lagi yang lu cari? Mobil ada dua, pick up sama mobil pribadi. Lu punya peternakan lebar, sawah dan ladang ada. Tabungan banyak, rumah potong punya lu, ini udah nambah lagi rumah baru tapi nggak lu tempati. Mau lu apa?" tanya ayah Rasyid geram.

Semenjak kepergian Ara, Rasyid memang menjadi sangat gila kerja. Ia tak perduli siang dan malam. Waktunya habis untuk bekerja, jika ada waktu luang, ia akan memanfaatkannya untuk mencari informasi tentang keberadaan Ara.

Hasil kerja kerasnya tak main-main, ia membeli sebuah mobil  secara tunai bulan lalu. Dan bulan ini, saat mengetahui ada pembukaan cluster baru di kompleks perumahannya, ia langsung mengajukan pembelian satu unit rumah dengan tipe yang paling mahal di cluster tersebut.

"Kerja kerja kerja pokoknya. Kalau diem kayak sekarang, gua cuma keinget Ara pak. Keinget senyumnya, keinget kesalahan gua ke dia. Kalau kerja, rasanya gua bisa lupa sama Ara walau cuma sebentar. Ntar kalau mau tidur ya wajah Ara lagi yang kebayang. Soal rumah, nanti gua tempati kalau Ara udah sah jadi istri gua. Dia bebas ngatur sendiri isi rumah kami sesuka dia. Semuanya buat Ara pak." jawab Rasyid dengan mata tertutup. Tubuhnya bersandar pada sandaran kursi plastik yang ia duduki.

"Lu nggak mau cari yang baru aja mas? Sampai sekarang aja lu nggak tau dimana Ara. Mati-matian lu usaha nyari dia, ada hasilnya?" pancing ayah Rasyid.

Mahal Kita, Mas! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang