"Selamat pagi, Mbak Roselyne," sapa satpam di depan pintu sambil mengecek kartu identitasku, sudah disiapkan atau belum. Aku tersenyum santai, lalu mengambil plastik pipih itu dari saku celana dan mengacungkannya.
"Sudah dong, Pak," jawabku sambil terus melangkah. Satpam itu memang selalu mengingatkan pegawai di sini untuk menyiapkan kartu identitas supaya tidak kelabakan saat hendak melewati gerbang pindai.
Langkahku agak tergesa. Aku buru-buru ingin menyampaikan pada Ditto mengenai masalah kemarin. Tentu saja, dia pasti tidak akan terlalu senang menanggapi ini. Namun, hanya dia satu-satunya orang yang dekat denganku. Bisa dikatakan, dialah satu-satunya sahabatku.
Aku tidak memiliki banyak teman di sini. Dari dulu selalu mengandalkan Tabita ketika tidak ada Ditto, tetapi sundal itu mengkhianatiku. Manusia memang makhluk menyeramkan.
"Tunggu!" seruku saat berlari menuju lift, menghadang orang-orang di dalamnya untuk menutup pintu. Tombol penahan segera ditekan, dan aku meluncur masuk lift sambil membetulkan napas dan juga baju yang miring ke sana kemari.
"Terima kasih," ujarku pada salah satu pegawai tersebut.
Gedung enam puluh lantai ini memang diisi oleh banyak kantor. Baik kantor pusat, maupun cabang. Jadi, tidak asing rasanya kalau bertemu banyak orang yang berbeda setiap hari dan sulit mengenal mereka karena kantor di gedung ini bukan cuma satu.
Kantorku di lantai dua puluh. Panah lift terus berkedip dengan warna merahnya yang terang, hingga tombol bertuliskan angka 20 itu berhenti menyala, dan pintu terbuka.
Kubenarkan posisi tas dan tentenganku, lalu berlari ke luar lift. Aku harus ke ruangan Ditto sekarang juga.
"Ditto!" seruku kencang saat membuka pintu kaca miliknya. "Selamat pagi!"
Aku sudah bersiap dibentak karena masuk ke ruangan tanpa mengetuk pintu, tetapi ternyata ruangan kosong. Cowok cerewet itu tidak ada di sini.
"Lu ke mana, Dit?" seruku lagi, sambil melongok ke seluruh bagian ruangan. Aku hendak mengurungkan niat dan keluar dari ruangan ketika tiba-tiba pintu dibuka dan wajah Ditto muncul dari sana.
"Eh, gila! Kaget gue! Ini masih pagi, Rosek! Bikin kaget saja ya, buset!" makinya padaku. Pintu menutup di belakangnya, lalu dia berjalan melaluiku dan duduk di kursinya.
Aku langsung berlari ke mejanya. "Lu enggak kasihan sama gue, ya?"
Ditto melotot, urat di pipinya langsung terlihat jika dia hendak menyemprotkan makian. Aku sudah siap mendengarnya. "Eh, Rosek. Gue enggak mau ngabisin waktu buat kasihan sama orang bodoh kaya elu!"
"Ih, jahatnya!"
"Gue enggak jahat, ya! Siapa pun yang ada di posisi gue pasti bakal ngamuk kalau liat ada orang kaya elu!" makinya lagi. Dia mengambil satu map mika warna hijau, lalu menumpahkan semua isinya ke meja.
Undangan itu kuletakkan di atas mejanya, di atas kertas-kertas yang baru saja dia tumpahkan. "Undangannya warna kuning, Ditto."
Cowok cerewet itu hanya terdiam, lalu mengelap hidungnya dengan buku-buku jari. Aku tahu, itu kebiasaan yang dilakukannya saat frustrasi menghadapi sesuatu. Aku memang sering dan sedang membuatnya frustrasi.
Ditto menggaruk jambang tipisnya, lalu menatapku, "Lu kapan sih, bakal ngelupain Daniel?"
Aku tak bisa menjawab. Bukankah dia seharusnya tahu, bahwa waktu lima tahun yang pernah kulalui itu tidak bisa dilupakan begitu saja?
"Terus kalau undangan ini warna kuning kenapa?"
Mataku mulai berkaca-kaca, teringat akan rencana dan mimpi yang pernah kami susun bersama dari waktu ke waktu. "Itu rencana gue, Dit. Gue dulu pengennya undangan pernikahan warna kuning. Lu lihat sendiri, 'kan, dia bener-bener nyakitin gue dengan cara kaya gini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tokyo Twilight
Romance[CERITA SUDAH TAMAT] Patah hati karena dikhianati oleh kekasihnya yang baru saja menikah dengan sahabat baiknya, Roselyne memutuskan untuk berlibur ke Tokyo dan berharap dapat menata hati. Sambil bercerita mengenai keindahan tentang Tokyo dengan sa...