Hari ini merupakan pertama kalinya bagiku setelah bertahun-tahun bekerja, datang ke kantor dengan perasaan tak sabar dan bahagia luar biasa.
Kulitku menghitam setelah menjadi bolang selama tujuh hari—menantang sinar matahari mentang-mentang udaranya sejuk. Namun, aku merasa langkahku lebih enteng ketika berjalan atau naik tangga.
Mungkin karena berhari-hari kulalui dengan banyak berjalan kaki. Kereta, jalan kaki, kereta lagi, jalan kaki lagi.
Aku datang ke kantor dengan membawa satu tas jinjing berisi makanan dan oleh-oleh. Untuk teman-teman satu departemen, aku membagikan beberapa kotak kue mochi dan Tokyo Banana, serta gantungan kunci dan sumpit untuk partner satu tim. Sedangkan untuk Ditto, aku membelikannya satu kotak cokelat Royce dan hiasan meja berbentuk kucing berwarna hitam.
Dia tidak ada di ruangannya ketika aku masuk dan memberikan oleh-oleh. Mungkin karena aku berangkat terlalu pagi. Kemarin seharian kuhabiskan dengan terlalu banyak beristirahat dan terlalu banyak makan, hingga esoknya membuatku bangun jauh lebih awal dari biasanya.
"Gimana perjalanannya ke Tokyo?"
"Keliatan seneng banget, ya?"
"Wah, kayaknya udah berhasil move on, nih?"
Beberapa pegawai mengeluarkan seloroh seperti itu ketika mereka berdatangan ke kantor dan menemukan makanan yang kubawa dari Tokyo. Sebagian lain hanya berterima kasih, tidak menggubris apa-apa mengenai jalan-jalanku ke luar negeri.
Aku memang tidak begitu dekat dengan orang-orang di sini.
Ponselku bergetar beberapa kali setelah aku sarapan di kantin gedung lantai lima belas, saat hendak kembali ke mejaku untuk bekerja. Notifikasi ponsel menyala, tertulis nama Ditto di sana. Aku hanya tersenyum geli saat membayangkan akhirnya kembali bertemu dengannya setelah tujuh hari main sendiri.
Selama ini memang aku dan Ditto sulit dipisahkan. Meski lima tahun yang lalu aku belum bekerja di perusahaan ini, dia selalu mendatangiku setiap seminggu sekali, atau sebaliknya, aku yang mendatangi apartemennya.
Kami melakukan banyak hal aneh seperti lomba mukbang dan pemenangnya harus menraktir makanan di pertemuan selanjutnya, main gim di Fun World, renang, bahkan kadang hanya sekedar makan ramen di indekosku atau apartemennya sambil menceritakan banyak hal. Pernah juga satu waktu di mana dia memiliki banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan, dan aku sampai membantunya beberapa hari untuk memilah dan mengolah data pada berkas-berkasnya. Kami makan sushi sampai kenyang dan bodoh setelahnya, habis belasan piring karena lelah dan stres luar biasa.
"Selamat pagi!" ucapku saat membuka pintu ruangannya. Tidak ada tamu di dalam, aku langsung berlari ke meja kerjanya. Dia tampak rapi dan necis pagi ini, memakai jas lengkap seperti hendak menghadiri rapat penting.
"Kok pakek jas? Mau rapat, ya?" tanyaku sambil mengempaskan tubuh ke kursi depan mejanya. Ditto menggaruk belakang kepalanya sambil sebentar-sebentar merapikan rambutnya dengan pomade.
"Iya, nih. Entar jam sepuluh."
Aku mengecek jam, "Ya, masih satu jam, sih. Sama siapa? Direktur?"
Ditto menghela napas dan terlihat tak senang akan kenyataan rapat yang harus dia hadiri pagi ini. "Sama CEO."
Mulutku menganga menanggapinya. Tubuhku langsung tegak dan mataku membelalak. "Gila! Mantep banget, lu? Rapat sama CEO." Aku memberikan tepuk tangan kecil di depannya sambil tertawa lebar. Ditto hanya tersenyum kecut sambil memandangi penampilannya dari cermin kotak di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tokyo Twilight
Любовные романы[CERITA SUDAH TAMAT] Patah hati karena dikhianati oleh kekasihnya yang baru saja menikah dengan sahabat baiknya, Roselyne memutuskan untuk berlibur ke Tokyo dan berharap dapat menata hati. Sambil bercerita mengenai keindahan tentang Tokyo dengan sa...