~A REASON TO BE HAPPY~

115 8 0
                                    

1 tahun kemudian

Ditto melangkah dengan kikuk saat keluar dari kereta dan aku langsung menggandengnya, takut kalau dia diseruduk oleh orang di belakangnya.

"Eh, buset. Ngeri amat, dah," katanya sambil minggir ke dinding. Aku tertawa geli dibuatnya, masih menggenggam tangannya.

"Jangan norak, deh," balasku sambil terus menggiringnya menuju pintu keluar.

Ya, aku dan Ditto berada di Tokyo. Kami memutuskan untuk mengambil cuti bersamaan dan dia mengusulkan untuk pergi ke negeri matahari terbit untuk melepaskan penat yang membebani tengkuk selama setahun belakangan.

Aku akan menceritakannya sedikit.

Perpisahanku dengan Raka terjadi dua minggu setelah pertemuan terakhir kami dan Sofia yang berakhir dengan derai air mata. Beratku turun banyak setelahnya. Makan rasanya hambar, seenak apa pun. Gerakan motorikku sempat terganggu selama beberapa hari, kadang gemetaran, kadang kaku.

Aku benar-benar mati rasa selama dua minggu sebelum kembali bertemu Raka. Namun, di samping itu semua, Ditto selalu berada di sampingku. Dia menghibur sekaligus memarahi, memaki sekaligus memuji.

Dia menjadi orang yang sangat kubutuhkan pada waktu yang tepat.

Saat bertemu lagi dengan Raka, hatiku lebih lega dari dua minggu sebelumnya. Aku masih membencinya karena teringat akan kelakuan dan perkataannya terakhir kali. Namun, aku tahu bahwa aku harus merelakannya, begitu pun dengannya.

Kami berbincang selama beberapa waktu di Taman Menteng dan kenangan mengenai Tokyo kembali merasuki kepalaku. Membuatku bahagia sekaligus sedih.

"Aku enggak tahu gimana harus minta maaf sama kamu, Rose. Kamu pasti sedih luar biasa waktu tahu ternyata aku bikin kamu patah hati," katanya lirih, menengadah sambil memainkan jakun. Persis seperti ketika kami berada di Sumida River, menyaksikan Tokyo Skytree yang menjulang dengan latar belakang oranye dan merah muda.

Selama duduk di samping Raka, aku memejamkan mata berkali-kali, mengatur debaran jantung tanpa henti. Hatiku sudah tak bisa menerimanya lagi, tetapi perasaan itu masih ada bekasnya, dan aku masih kesulitan untuk mengatasinya.

"Tentu aku sedih," jawabku sambil mengesah.

Raka menghela napas panjang, kemudian memandangku. Aku merasakan tatapan kedua matanya dari samping wajahku, tetapi aku tak sanggup membalasnya. Semua masih terasa begitu ngilu. "Aku akan menikahi Sofia, Rose. Rasa salahku sama dia sungguh besar, dan aku harus menebusnya."

Aku mengangguk setuju. "Kamu harus menebusnya seumur hidupmu," kataku. Aku menoleh dan mendapatinya masih memandangku dengan sendu. Wajah yang begitu kurindukan.

"Aku minta maaf, Roselyne. Aku pikir dengan jujur sama perasaanku sendiri tanpa mikirin orang lain membuatku lebih baik. Tapi ternyata aku berbohong sama banyak pihak. Meski aku enggak bisa menebusnya denganmu, aku berharap yang terbaik bakal terjadi di hidupmu. Kamu pantas, dan sangat pantas untuk mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dari aku. Siapa pun itu, kapan pun waktunya."

Kedua mata Raka berkaca-kaca dan tiba-tiba saja aku tersenyum melihatnya. Tiba-tiba saja seluruh rasa penyesalan itu sirna, tergantikan oleh sesuatu yang lebih damai. "Aku enggak akan memaafkanmu, Raka. Tapi kamu bisa menebus semuanya dengan mencintai orang yang mencintaimu. Karena mereka yang berkorban untuk orang yang dicintai itu juga layak mendapatkan cinta yang luar biasa," ujarku sambil menitikkan air mata.

Tokyo TwilightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang