~GELORA~

39 5 0
                                    

Aku akan selalu mencintaimu, Rosie. Aku tidak akan meninggalkanmu.

Kata-kata itu menghantam kepalaku sekaligus membuka mataku lebar-lebar. Sinar matahari membuat gorden berwarna cokelat tua di kamar ini seperti menyala. Terlihat dari balik kisi-kisinya, cahaya putih menembus dan menghadirkan pagi.

Aku mengucek mata dan mengambil ponselku dari charger yang menancap di soket dekat kepala. Jam 8 pagi. Hari terakhir di Tokyo. Bukankah seharusnya aku semangat? Ke mana semua energiku?

Ah, iya. Semuanya mengabar ke udara ketika Raka melambaikan tangannya padaku di depan hotel kemarin. Wajahnya menjadi dingin, berbeda sekali dari malam itu; ketika dia memutuskan untuk mengecup keningku.

Dia terlihat begitu penuh amarah, dan sepertinya aku tahu mengapa dia beberapa kali mengatakan bahwa alasannya datang ke kota ini karena merasa bahwa dirinya telah menjadi pengecut. Semuanya semakin kentara setelah dia menerima telepon itu.

Bahkan kelopak bunga sakura warna merah muda yang berguguran di atas sungai berkilauan tak lantas membuatnya tersenyum bahagia.

"Kamu enggak papa, 'kan? Apa ibumu mengganggu pikiranmu?" tanyaku lirih saat mengamatinya yang hanya melamun di tengah turis yang sibuk bercengkerama dan mengabadikan momen indah di Sungai Meguro.

"Aku mulai merasa menjadi pengecut lagi, Rose."

"Atas alasan apa?" Kuperhatikan jakunnya yang bergerak-gerak gelisah sedari tadi. Tubuhnya tepat di sisiku, tetapi pikirannya mengelana ke mana-mana. Mungkin dia ingin pulang, tetapi dia membenci rumah.

Raka hanya tersenyum dengan tatapan kosong dan membelai kepalaku. Akhirnya dia mau menatapku dengan serius setelah menjadi aneh sejak keluar dari Starbucks. "Maaf aku bikin kamu khawatir, Rose. Jangan salah paham dulu, aku cuma sedang dilanda kekhawatiran."

"Karena penyakit ibumu?"

Dia terdiam dan berpikir. Matanya memejam dan ketika membuka, aku merasa dia berkedip dengan terlalu cepat. "Iya. Dan yang lainnya."

Aku menghela napas. "Yang lainnya apa? Kamu enggak bisa cerita?"

Raka menggeleng. Dia memegang kedua pundakku dan terdiam untuk beberapa waktu, membuatku merasa ganjil sekaligus khawatir. Sesungguhnya ada apa dengannya? Aku ingin mengenalnya lebih jauh lagi, tetapi dia tak mau membuka diri. Dia juga sepertinya tidak suka jika ada orang lain mencampuri urusannya. Saat ini aku masih orang lain baginya, orang asing.

Laki-laki ini benar-benar sulit dibaca. Dia sangat gamblang, sekaligus sulit dibaca.

"Jangan khawatir sama aku, Raka. Aku enggak masalah. Kamu pulang besok juga aku enggak masalah. Toh, besok juga hari terakhirku," kataku sambil mengusap rambutnya.

Raka tak menjawab dan hanya menarikku ke pelukannya, membelai rambutku dan mendesah panjang dari belakang wajahku. Aku ingin merasakan kekhawatirannya, berbagi kesedihan dengannya seperti ketika dia memahamiku saat aku bercerita mengenai kegagalan cinta yang kualami.

"Aku akan pulang besok, Rose. Kamu juga hati-hati di sini," katanya dengan suara berat dan wajah berbayang. "Kamu sudah melakukan yang terbaik buat melupakan perasaanmu ke Daniel. Sepertinya kamu berhasil."

"Karena kamu," balasku tanpa berpikir. Aku ingin dia merasa spesial. Aku ingin dia merasa baik-baik saja karena kehadiranku.

Pelukan kami mengerat dan dia tak membahas apa pun tentang telepon dari ibunya sepulang dari Sungai Meguro ke hotelku. Dia mengantarkan sampai depan hotel, memelukku, mengusap kepalaku, dan mencium keningku. Setelah itu dia pamit dan melambaikan tangan padaku.

Tokyo TwilightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang