~FIREWORK~

41 7 0
                                    

Kemarin rasanya seperti mimpi. Aku menengadah, memandang langit-langit kamar yang diterangi lampu fluoresen putih remang dengan penghangat ruangan yang sedikit bergetar di dekat jendela.

Aku menyukaimu, Roselyne, kata Raka setengah berbisik, setengah berseru. Jantungku jumpalitan. Aku tak dapat bergerak untuk beberapa saat. Langit berwarna amber itu mulai menghilang di balik cakrawala yang menghitam, hingga rasanya waktu berlalu sangat cepat setelah dia mengucapkan kalimat itu. Kami tak begitu banyak berbicara setelahnya.

"Aku tahu ini tiba-tiba. Aku juga paham kalau kamu bisa aja belum siap. Tapi perkataanku barusan itu bukan bercandaan," tambahnya, masih membuatku ternganga.

Aku hanya tersenyum canggung, tingkahku kikuk, dan pemandangan senja di depan mataku tak lagi membuatku terkesima sepeti sepuluh menit yang lalu. Raka benar. Ini sangat tiba-tiba. Seperti caranya mengambil fotoku di Sungai Sumida yang mendadak dan tanpa aba-aba, seperti caranya meminta nomorku, seperti caranya menggenggam tanganku.

Tak terencana. Spontan. Membuatku kebingungan. Namun, yang lebih anehnya lagi, aku tak merasa keberatan. Beban-beban itu tak lagi mengerumuni dan membuatku timpang ke arah masa lalu yang membuat hidupku sengsara.

"Kita nikmati dulu sunset sore ini. Setelah ini, kita makan ramen di Aquacity, ya? Malnya besar banget dan paling terkenal di sini. Kita juga bisa foto di depan patung gundam." Raka menjelaskan panjang lebar. Kedua matanya masih menjurus padaku, sedangkan aku hanya menunduk dan sesekali mendongak ke arah teluk, menyaksikan perairan yang disirami cahaya keemasan.

Aku tak sanggup menjawabnya. Hatiku masih berlubang, tubuhku masih mengingat rasa sakit mengenai pengkhianatan dengan baik. Lompat dari satu perasaan ke perasaan lainnya tak semudah itu.

Semua butuh waktu, dan aku merasa belum sembuh sama sekali.

"Oke. Aku ikut," jawabku. Dari pertama kali bertemu, meski dengan cara yang aneh dan tak terduga, selalu Raka yang membawa kejutan dan kehangatan itu. Caranya mengambil foto, saat kami berjalan-jalan dalam diam di sepanjang pinggiran sungai, saat dia mengajakku makan sushi terenak selama hidupku, dan kejadian-kejadian selanjutnya. Selalu aku yang merasa istimewa.

Walau dia tak berniat melakukannya, aku merasa dia memperlakukanku dengan sangat baik, terlepas hubungan singkat kami. Terlepas siapa diriku dan dirinya.

"Kamu bikin aku kaget, Raka," ujarku lirih, masih belum sanggup memandangnya.

Dia hanya termenung, lalu dari ujung mata aku melihatnya tersenyum simpul di balik kepalanya yang tertunduk.

Kami menghabiskan malam bersama. Mengelilingi mal-yang ternyata mirip dengan yang ada di Jakarta-sambil mengambil foto, makan mi ramen dengan poached egg yang teksturnya lembut sekali-aku harus belajar membuatnya, dan kami berfoto di depan patung gundam raksasa yang terkenal. Warnanya berubah-ubah dan beberapa kali robot itu menggerak-gerakkan bagian tubuhnya.

Perut sudah kenyang, kami berjalan-jalan di Odaiba Decks yang anginnya berembus cukup kencang hingga membuatku merasa takut karena berada di tempat yang tinggi. Seolah-olah akan tersapu. Atau terjatuh. Perasaan takut akan sesuatu yang tak bisa kukendalikan.

Raka berkali-kali melirikku, tetapi tak mengucapkan apa pun. Entah tak mau mengusikku atau sebenarnya ingin membatalkan kalimat yang telah dia ucapkan setelah tahu aku tak memberi jawaban apa pun padanya. Aku ingin memberi jawaban. Aku mau.

Aku hanya tidak siap. Aku hanya sedang terjebak di dalam spiral. Ketakutan dan cemas. Khawatir sekaligus terenyuh. Rasanya seperti melayang di tempat tak terbatas tanpa gravitasi, tak tahu apakah bisa kembali turun, tak tahu apakah bisa bertahan. Perasaan yang sungguh campur aduk.

Tokyo TwilightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang