Raka tersenyum gembira saat melihatku turun keluar lift. Dia melambai ke arahku dan kubalas dengan lambaian serta lompatan.
Tubuhku terasa pegal luar biasa setelah seharian bersenang-senang di Disney Resor. Aku masih ingat akan teriakan seru dari para penumpang saat kursi terjun dari ketinggian di Tower of Terror, serta kepala naga yang keluar dari Gunung Prometheu yang menyemburkan api seolah benar-benar nyata.
Tak lupa kembang api yang menyalakan langit gelap menjadi ratusan percikan berwarna, dan kecupan hangat Raka di pipiku. Aku yang memulainya—kecupan itu. Aku juga tidak menyesalinya.
Hatiku berkali-kali lipat lebih bahagia dari kemarin, dan meskipun perjalananku di Tokyo tinggal dua hari lagi, rasanya aku seperti telah berada di puncak kesenangan. Kesedihan dan kemalangan sudah lama kutinggalkan, semuanya telah tanggal di bawah kakiku, tak lagi memberati tubuhku.
Raka yang membuatku seperti ini.
"Tidurmu nyenyak?" ucapnya sambi mengelus rambutku dan memandangku dengan tatapan sendu miliknya, sangat kontras dengan matanya yang tajam.
Aku mengangguk, mengelus lengannya sambil tertawa kecil. "Aku seneng banget, maka tidurnya nyenyak."
"Berarti kalau lagi sedih tidurnya enggak nyenyak?" tanyanya sambil menggamit lenganku keluar hotel. Cuaca hari ini bagus sekali. Cerah tanpa awan, sejuk dan sedikit berangin.
"Kurang lebih begitu," kataku mengangguk-angguk, membetulkan kardigan yang kupakai. Hari ini aku memakai sweatshirt putih dengan kardigan selutut warna army dan celana jeans warna biru terang. Raka memakai kaus oblong warna hitam dengan mantel cokelat tua dan celana jogger pants hitam.
Raka merangkul pundakku dengan lengan kirinya dan menarikku ke dekatnya sambil berkata, "Jadi, mau ke mana kita hari ini?"
Tawaku merekah dan aku merasakan pipiku bersemu. Persis seperti tahun pertamaku dengan Daniel, setiap hari rasanya selalu berbunga-bunga. Namun, aku tidak akan mengulanginya lagi—hubungan satu arah itu, hubungan yang berakhir nestapa itu. Aku akan menyukai Raka dengan tulus jika dia menyukaiku.
Waktunya sudah mulai jelas untukku memilih diri sendiri, walau kadang kecemasan akan masuk ke dalam spiral ganas dan kehilangan arah itu masih saja mengusikku.
Kuselipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga. "Ke mana, ya? Seperti janjian kita kemarin, mari kita pergi ke tempat terpadat di kota ini, Raka," ujarku sambil melangkah lebar dan tertawa geli.
Kami tidak membeli makanan di convenience store seperti biasanya karena tempat yang akan kami tuju menyuguhkan berbagai kuliner lezat. Dari Asakusa Station kami naik Ginza Line selama sekitar 4 menit sampai Shibuya Station. Harga tiketnya 242 yen, atau gratis jika memiliki multiple pass. Hari ini merupakan hari terakhir masa berlaku pass-ku. Jika besok hendak keliling Tokyo yang harus menggunakan kereta bawah tanah, maka pengeluaranku akan lumayan besar.
Dari Shibuya Station kami berjalan santai melewati area perkantoran dan bisnis yang sangat padat. Banyak sekali orang-orang berkumpul, terutama orang tua dan remaja. Mereka menikmati udara sejuk dari musim semi sambil menyaksikan cherry blossom atau peristiwa mekarnya bunga sakura pada waktu terbaik.
Senyum dan tawa merekah di wajah mereka. Ada yang asyik mengambil foto lewat ponsel, ada yang hanya terdiam di pinggir jalan sambil sesekali memasukkan tangan ke dalam mantel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tokyo Twilight
Romance[CERITA SUDAH TAMAT] Patah hati karena dikhianati oleh kekasihnya yang baru saja menikah dengan sahabat baiknya, Roselyne memutuskan untuk berlibur ke Tokyo dan berharap dapat menata hati. Sambil bercerita mengenai keindahan tentang Tokyo dengan sa...