Aku melangkah tak sabar saat bis berhenti di perhentian akhir terminal Stasiun Shinjuku. Mataku awas ke sana kemari, menyaksikan orang-orang dari berbagai arah kedatangan.
Dari terminal aku menuruni eskalator dan kembali membuka ponsel untuk melihat notifikasi terakhir dari Raka. Dia bilang akan menemuiku di South Exit. Ya, tentu saja. South Exit memang paling mudah untuk dicari, tetapi tempatnya sangat besar. Bagaimana cara menemukan satu orang di antara ratusan orang yang keluar masuk stasiun?
Setelah menuruni eskalator panjang, di hadapanku terdapat layar-layar penunjuk pintu keluar dan jalur kereta lainnya yang berwarna-warni; merah, hijau, dan oranye. Aku terpaksa minggir ke salah satu pilar dinding di tengah lautan manusia yang saling buru-buru untuk membaca arah. Sekali salah pintu keluar bakal pusing sendiri.
Aku memasukkan multiple pass ke mesin gate dan melalui beberapa rangkaian tangga dan eskalator hingga sampai ke South Exit. Tubuhku berputar-putar ke berbagai arah, berlarian tak jelas sambil menempelkan ponsel di telinga, menanyakan posisi Raka.
"Kamu di mana?" seruku di tengah udara yang sangat dingin dan rombongan orang yang keluar masuk stasiun.
Pundakku ditepuk dari belakang dan aku langsung menoleh. Mataku membeliak, bibirku menganga. "Aku di sini," katanya polos sambil tertawa geli.
"Bikin kaget aja." Kututup sambungan dan memasukkan ponsel ke dalam tas. "Aku pikir enggak bakal semudah ini nemuin kamu," kataku sambil tertawa. Raka mengusap keningku lalu mengacak-acak rambutku.
Tiba-tiba saja dia memelukku. Di tengah orang yang saling lalu lalang, di tengah padatnya kota dan suara kendaraan di berbagai sisi kota, dia mendekapku dengan erat. Seperti ketika Daniel mendekapku dengan tiba-tiba. Seperti tangan hangat dan lembut yang membuatku merasa aman.
Namun, pelukannya berkali-kali lipat lebih hangat dari milik siapa pun. Napasnya berembus di dekat telingaku, mengantarkan udara hangat.
"Makasih, Rose," katanya lirih, masih mengusap punggung dan kepalaku. Dia seperti sedang mengusap mangkuk rapuh dengan lemah lembut.
"Untuk apa?"
Dia kembali mengembuskan napas seolah benar-benar lega. "Udah mau menerima perasaanku."
Aku hanya tersenyum dan merekatkan pelukan di tubuhnya, lalu kami melepas peluk dan ganti saling tatap. "Kita masih saling suka, ya, bukan pacaran," ledekku. Raka hanya tertawa dan kembali memelukku, mengantarkan hangat tubuhnya ke tubuhku.
Hari ini dia tidak memakai pakaian kasual seperti biasa. Dia memakai jaket bomber warna kuning menyala dipadukan dengan kaus oblong hitam, celana jeans, dan sepatu sneaker warna abu-abu. Karena ini pertama kali dia berada sedekat ini denganku, aroma parfumnya baru tercium. Wangi cokelat, mentol, dan sedikit pepermint.
Baik Raka dan parfumnya, aku menyukainya.
"Mau jalan-jalan ke mana?"
Aku menyapukan pandangan ke sekeliling, merasakan udara yang semakin mendingin dan hari yang sudah menjelang sore. "Aku mau makan yang berkuah," kataku sambil membetulkan mantel. "Daerah Fuji-san dingin banget, aku mau makan yang anget-anget."
Raka tampak mengernyit dan berpikir. "Ichiran?"
"Bukannya itu di Osaka?"
Dia kembali tertawa dan menyenggol lenganku. "Ada cabangnya di Shinjuku," katanya, membuat mataku berbinar. Ichiran Ramen terkenal akan rasanya yang nikmat, tetapi selama ini aku hanya tahu bahwa restoran itu adanya di Osaka, bukan di Tokyo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tokyo Twilight
Romance[CERITA SUDAH TAMAT] Patah hati karena dikhianati oleh kekasihnya yang baru saja menikah dengan sahabat baiknya, Roselyne memutuskan untuk berlibur ke Tokyo dan berharap dapat menata hati. Sambil bercerita mengenai keindahan tentang Tokyo dengan sa...