"Bagaimana dengan kamarnya? Kamu suka?" Aku mencerna kalimatnya sambil memerhatikan perempuan berbaju kimono putih itu membentuk huruf-huruf mungil di bibirnya.
Kujawab dengan anggukan dan sedikit senyum, "Ya."
Aku meletakkan kunci dengan gantungan kayu bertuliskan nomor kamar ke atas meja resepsionis. Perempuan itu mengangguk dan mengambil kunci tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Pintu hotel dari kaca dibuka dan suara lonceng terdengar lirih. Udara sore yang dingin menerpa wajahku. Aku menarik dan menghembuskan napas dengan risau, lalu menyiapkan kamera dan mengatur fokus lensanya.
Baru setengah jam yang lalu aku melewati area Asakusa yang padat luar biasa, tetapi saat aku ke sini lagi, orang-orang itu sudah mulai berpindah tempat. Masih ramai, tetapi bisa ditoleransi.
Aku mulai mengambil gambar, sedikit-sedikit mengatur fokus lensa, lalu-cekrek-pemandangan itu telah tertangkap di memori kameraku. Aku bukan fotografer profesional, teknik mengambil gambar tidak terlalu kuperhatikan, tetapi aku mengusahakan yang terbaik. Kamera ini adalah hadiah ulang tahunku yang ke dua puluh lima, empat tahun yang lalu. Daniel yang memberikannya padaku, tetapi jarang sekali kugunakan.
Lebih karena aku bukan orang yang gemar melakukan fotografi.
Dalam perjalanan menuju Kuil Sensoji, aku melihat kedai makanan mengeluarkan asap harum dari jendela kecilnya, lalu memutuskan masuk ke kedai untuk melihat-lihat. Kedai itu menjual taiyaki-kue bentuk ikan dengan isian kacang merah-dan saat itu juga mulutku berair. Aku membeli dua ikan, satu harganya 100 yen, atau sekitar Rp 13.000. Udara yang dingin di luar sesuai dengan kue ikan yang masih hangat. Aku memakannya dengan agak tergesa, sambil menahan panas di lidah. Rasanya gurih dan manis.
Setelah kenyang makan taiyaki, perjalananku berlanjut ke jalanan utama menuju Kuil Sensoji.
Namikaze Street masih ramai seperti tadi, tetapi kuantitasnya sudah mulai berkurang. Orang-orang sibuk berfoto, makan jajanan, menembus kerumunan, dan membeli cendera mata. Jalan Namikaze memang dipenuhi oleh gerai penjual barang yang sering dicari oleh turis-manisan, makanan ringan kering, gantungan kunci, payung khas Jepang, bahkan baju kimono.
Aku kembali mengambil gambar, dengan berdesakan tentunya.
Di ujung gang, aku melihat satu gerai yang menjual buah stroberi. Ada yang dibungkus dalam kemasan khusus, ada juga yang ditusuk sepeti bakso. Warnanya merah dan merah muda cenderung putih. Ini pertama kalinya aku melihat stroberi albino.
"How much?" tanyaku sambil menunjuk-nunjuk, mengeraskan suara supaya tidak kalah dengan suasana yang ramai.
Si penjual tidak menjawab, melainkan menunjuk tulisan di atas kepalaku. Aku mendongak dan terkekeh, tidak kuperhatikan tulisannya-400 yen, sekitar Rp 52.000. Kalau jalan-jalan ke luar negeri memang tidak pas untuk sedikit-sedikit mengkhawatirkan kurs, bisa-bisa tidak beli apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tokyo Twilight
Romance[CERITA SUDAH TAMAT] Patah hati karena dikhianati oleh kekasihnya yang baru saja menikah dengan sahabat baiknya, Roselyne memutuskan untuk berlibur ke Tokyo dan berharap dapat menata hati. Sambil bercerita mengenai keindahan tentang Tokyo dengan sa...