"Sepertinya bertemu denganmu membuatku paham akan banyak hal, Rose." Raka mengarahkan kameranya ke bawah, lalu dia mengambil foto kaki kami berdua—dia dengan sepatu bot warna cokelat tua dan aku dengan sneaker putih bersol tinggi.
Aku terkejut, tetapi tak menghindar. Toh, fotonya terlihat bagus dari layar kameranya.
"Paham akan apa?"
"Bahwa hidup kadang membawa kita ke tempat ..," dia berhenti sebentar, melirikku dengan sedikit menyipit, "atau seseorang yang tak pernah kita duga."
Bibirku mengerucut, mengulum senyum. "Jadi, bisa dibilang aku bukan orang yang kamu duga-duga."
Raka menyenggol lenganku sambil meledek, "Bukankah kamu juga begitu?"
Aku setuju, tetapi tak menjawab. Kuingat pertemuan pertama kali di pinggir sungai. Tangisku yang hendak pecah berderai dan aku merasa tak akan sanggup melupakan Daniel walau telah jauh-jauh datang ke Tokyo. Tubuhku yang hendak merosot ke tanah begitu saja ketika membayangkan mereka berbahagia setelah pernikahan megah yang bahkan tak sanggup kuhadiri hingga selesai.
Tabita yang merengkuh pelukan Daniel, bukan aku. Memikirkannya masih membuatku merasa amat terluka. Siapa yang tidak akan terluka?
Cinta memang berbahaya.
"Ya ... paling enggak kamu menyelamatkanku sore itu."
Dia menoleh sekaligus memperhatikan. Angin memainkan rambutnya yang sewarna tembaga, juga rambutku yang keriting bergelombang bak benang wol.
"Dari apa?"
"Dari kebodohan? Karena sesuatu yang merosot gitu aja dari genggamanku?" Aku tergelak dan memainkan kedua kakiku, mengentak-entak ke tanah. "Sejujurnya aku hampir menangis kayak orang gila sore itu, kalau aja kamu enggak tiba-tiba ngambil fotoku tanpa aba-aba."
Ganti Raka yang tertawa terbahak-bahak. "Jangan bilang sampai sekarang kamu masih salah paham?"
Mungkin. Atau tidak. "Salah paham pun kayaknya udah basi, ya? Kita bahkan udah kenalan dan jalan-jalan bareng," ujarku sambil tertawa dan menepuk lengannya.
"Kalau gitu, kamu utang sama aku."
Dahiku melipat mendengarnya. "Utang apa?"
Raka duduk menyamping dan memegang tanganku. "Karena aku udah nyelametin kamu, sekarang giliranmu nyelametin aku," katanya dengan mata berbinar.
Aku meringis, tak tahu apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkannya. Bukankah dia terlihat jauh lebih baik-baik saja ketimbang diriku? Mungkin tidak, aku hanya tak melihatnya selama bersamaku. Dia menyembunyikannya dengan sangat baik.
"Kita harus melihat senja terbaik di Tokyo," ucapnya bersemangat, masih menggenggam tanganku. Aku tahu ini terdengar konyol, tetapi kami baru bertemu dua hari yang lalu dan sepertinya berpegangan tangan terlalu lama bukanlah sesuatu yang normal. Ah, aku terdengar seperti anak SD yang baru pacaran.
"Odaiba?"
"Kamu tahu?"
Aku menarik tangan dari genggamannya lalu mengendikan bahu. "Tentu. Dulu ada yang pernah mengajakku ke sana, tapi enggak jadi. Kalau gitu kita jalan-jalan sebentar keliling tempat ini, terus ke Odaiba?"
Raka mengangguk dan langsung berdiri sambil mengulurkan tangannya padaku. "Sebelum itu, aku mau ambil fotomu di sini yang banyak."
Aku tersipu dan menerima uluran tangannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/232710183-288-k846440.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tokyo Twilight
Romance[CERITA SUDAH TAMAT] Patah hati karena dikhianati oleh kekasihnya yang baru saja menikah dengan sahabat baiknya, Roselyne memutuskan untuk berlibur ke Tokyo dan berharap dapat menata hati. Sambil bercerita mengenai keindahan tentang Tokyo dengan sa...