~THAT MAN~

50 8 0
                                    

"Sekali lagi maaf, ya. Aku enggak bermaksud macam-macam, kok." Mataku masih mengekor wajahnya yang memandangi layar kameranya dengan keganjilan. Dia mendongak lalu kembali mengambil foto—cakrawala yang menggelap, Skytree yang berbayang, dan sungai yang tenang. Aku mendekat, melihat apa yang dia lakukan.

Sepertinya tidak sulit untuk mengambil gambar yang bagus sepertinya.

"Kamu suka fotografi juga?" tanyanya dengan mata menyipit. Tangannya mengarah ke kiri, lalu pindah kanan, lalu agak ke bawah, menyesuaikan cahaya dan objek yang hendak diambil.

"Enggak. Aku pegang kamera karena sayang aja kalau jauh-jauh ke Tokyo tapi enggak punya banyak gambar," jawabku.

"Betul. Tokyo tempat yang menawan. Kamu suka kota?"

"Sepertinya."

Pria itu berdiri dekat pembatas jembatan sambil terus memainkan kameranya. Bukannya menjauh dan segera pulang ke hotel seperti yang tadi kurencanakan, aku malah terus berada di dekatnya.

"Belajar sendiri?"

Dia menoleh dan menatapku dengan gamang, "Apanya?"

Aku menunjuk kameranya—dan caranya mengambil gambar.

"Oh," dia terkekeh sebentar sambil menimang kameranya lalu berkata, "ini cuma hobi. Jadi budak korporat itu melelahkan. Fotografi jadi hobiku." Dia menengadah dan jakun runcingnya bergerak-gerak seiring pergerakan awan. "Lagi pula, enggak ada yang aku lakukan belakangan. Fotografi bisa membantumu kalau sedang hilang arah."

Aku sudah mencobanya, tetapi tetap saja kehilangan arah. Tidak ada yang bisa membantuku. Bahkan fotografi sekalipun.

"Mau diajarin?" tawarnya. Kami kembali saling pandang untuk beberapa saat, hingga aku merasa sangat canggung dan memilih menunduk, melihat air yang beriak-riak kecil.

"Enggak perlu. Kayaknya enggak begitu berguna di aku."

"Kapan datang ke Tokyo?"

Aku menggigit bibir dan kecemasan mulai melandaku. Kecemasan yang pada prinsipnya hadir saat hatiku berada tahap yang tak bisa dibaca gerak-geriknya. Ini hanya kebetulan. Ini tidak masuk akal, batinku terus meronta.

Dasar hati karet. Baru saja beberapa menit yang lalu pikiranku terus dibayangi oleh Daniel. Sekarang rasanya Daniel hanya serupa asap rokok yang menghilang karena berbaur dengan udara.

"Hari ini. Tadi sore. Baru saja, maksudku," jawabku gelagapan.

Pria itu kembali memandangku. Aku sama sekali tidak mengenalnya—kehadirannya yang tiba-tiba dan jepretan foto tanpa minta izinnya—tetapi rasanya pria ini dekat denganku. Seperti seseorang yang akan aku kenal lebih jauh, lebih dalam, hingga rasa itu mulai membara dan akhirnya aku akan jatuh cinta.

Orang-orang yang kurang resistan terhadap kasih sayang memang kerap bernasib malang kalau soal perasaan. Sama sepertiku.

"Berati belum ke mana-mana? Hanya ke sini?"

"Aku menginap di daerah Asakusa, jadi tadi sudah keliling Sensoji," jawabku menjelaskan. Tunggu, mengapa aku bilang padanya soal daerah penginapanku? Astaga, aku benar-benar kurang hati-hati. Aku lupa betul bahwa ini tempat asing dan aku sendirian.

Pria ini tidak mungkin berbahaya, 'kan?

"Kalau begitu, silakan simpan fotonya. Tapi aku harap jangan dibuat macam-macam, ya." Kuputuskan untuk segera meninggalkan tempat ini dan kembali ke hotel. Namun, baru beberapa langkah kuambil, pria itu kembali memegang lengan bajuku.

Tokyo TwilightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang