~KEPUTUSAN~

67 11 1
                                    

Aku tidak dapat tidur semalam. Terlalu banyak yang dipikirkan, sedang kepalaku hanya satu. Meski begitu, hari ini aku berjalan lebih tegak dari kemarin. Aku tahu apa yang harus dilakukan.

Bunyi bip saat kartu identitas ditempelkan pada mesin pindai. Setelah pintu kaca setengah badan membuka, aku berjalan gontai dengan berbagai tentengan seperti biasanya; bekal makan siang, sepatu sandal jika sore nanti hujan, payung, botol minum, dan tas alat rias.

Lobi lift masih sibuk mengantar pegawai yang lain ketika aku memencet tombol panah ke atas. Di belakangku, dinding berlapis kaca berkilauan karena memantulkan sinar matahari. Aku berbalik, melihat bayangan di depanku, berdiri memantul di dinding kaca. Tinggi badan yang sampai sekarang belum ada yang mengalahkan, badan berisi, rambut keriting ombak, dan mata kuyu.

Begadang memang memiliki efek samping yang langsung terlihat.

Hari ini aku memakai baju terusan hijau muda, dipadukan dengan celana stretch sampai tumit dan sabuk hitam. Sepatu yang kukenakan adalah Converse All Star Run Star Hike yang baru saja kubeli bulan lalu. Hari ini outfit yang kukenakan sangat chic, aku menyukainya.

Salah satu yang aku senangi saat menjadi pegawai swasta adalah bisa memadu padankan pakaian sesuka hati, tanpa ada yang peduli. Selama tidak telanjang, aku bebas memakai apa pun yang aku mau.

Suara denting berbunyi, pintu lift terbuka. Aku bergegas masuk ke lift diikuti oleh pegawai kantoran lainnya. Saling berdesakan, saling merapikan pakaian. Ya, ritual pegawai kantoran setiap pagi.

"Selamat pagi," ucapku pada beberapa pegawai yang sudah ada di meja mereka, hadir lebih pagi dari biasanya.

"Pagi, Mbak Ros," sahut sebagian besar. Aku memang terbilang senior di sini, lima tahun bekerja tanpa memikirkan ingin keluar dari perusahaan, sedangkan orang datang dan pergi. Aku bertahan di sini karena gajinya yang lumayan dibanding perusahaan kosmetik lainnya. Selain itu, kapan lagi bisa satu kantor dengan sahabat satu-satunya meski jabatannya jauh lebih tinggi dariku?

Kebetulan yang sulit didapatkan, menurutku.

"Ada sesuatu di mejamu, Mbak," kata salah satu pegawai. Dwita, salah satu rekrutan pegawai baru yang kemarin bertemu denganku di ruangan Ditto.

"Dari siapa?"

Dia hanya menggeleng sambil mengerucutkan bibir.

Well, ini bukan hari ulang tahunku. Aku juga tidak memiliki apa pun untuk dirayakan selain fakta bahwa akhirnya Daniel benar-benar lepas dari genggamanku.

Aku bergegas ke bilik kerjaku dan meletakkan semua tentengan. Ada kotak ukuran 20 senti warna hijau muda di dekat kibor, senada dengan warna pakaianku hari ini. Kotak itu dibalut pita dan aku agak sangsi ia berasal dari seseorang yang kukenal.

Kuraba permukaannya, tali pita kulepas, lalu kubuka tutupnya perlahan. Hampir saja aku meloncat kaget, takut akan kemungkinan kotak itu berisi ulat, sampai isi yang sesungguhnya membuatku bertanya-tanya.

Selamat ya, lu bakal jadi perawan tua, nemenin gue yang perjaka tua. Seperti itulah tulisan yang tertera di selembar kartu ucapan, tertancap di pinggiran kue.

Benar-benar, ya, orang satu ini. Tidak bisa diam kalau melihatku sengsara.

"Ditto!" teriakku sambil berlari ke ruangannya.

Pintunya terbuka setengah ketika aku masuk. Wajahku merah padam sedang dia malah asyik menonton siaran ulang pertandingan bola di ponselnya sambil memasang wajah aku-sedang-serius-tak-bisa-diganggu miliknya. Dasar bocah menyebalkan!

Tokyo TwilightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang