~MELANGKAH MAJU~

38 6 1
                                    

Raka tersenyum lebar dan ikut duduk denganku di pinggiran toko kelontong. "Bagaimana harimu, Rose?"

Aku tersenyum sambil mengelap bibir. "Hariku menyenangkan, terutama saat ini."

"Onigiri tuna mayones dan salmon. Enak sekali. Atau kalau mau yang lebih kaya lagi, sandwich shrimp salad atau tuna salad dan telur. Aku enggak bisa berhenti makan mereka awal-awal di sini." Dia menunjuk onigiri yang sudah kugigit setengah sambil berusaha menjelaskan makanan kesukaannya.

Hari ini rambutnya agak acak-acakan—pasti karena angin. Namun, entah mengapa itu membuatnya terlihat lebih tampan dari kemarin. Jambang tipis di dagu dan alis selebat ulat bulu, wajahnya begitu menyenangkan untuk dilihat lama-lama.

"Kenapa?" tanyanya tiba-tiba, mengagetkanku. Aku kembali mengunyah dan memalingkan wajah.

"Hari ini kamu ke mana saja?"

Raka menghela napas. Jarinya dilipat dan ditarik ke depan sambil menyapukan pandangan ke sekeliling. "Enggak begitu seru. Sebagian besar aku habiskan di sekitar Akihabara."

Jawabannya membuatku tertawa. "Mengapa enggak seru? Aku pikir semua di tempat ini menyenangkan. Buat fotografer sepertimu, terutama."

"Seharusnya. Bisa jadi karena aku sendirian?" balasnya sambil memandangiku.

Dia membuatku kikuk sekaligus tersipu dalam waktu bersamaan. Punggungku mulai terasa panas dingin dan meski angin kembali bertiup kencang membawa hawa dingin, tanganku malah berkeringat. "Aku juga jalan-jalan sendirian, tadi. Sepertinya iya, aku setuju. Jalan-jalan sendirian kurang seru."

"Habis kamu makan, kita jalan-jalan lagi?" tawarnya sambil menaikkan alis.

Aku langsung memakan potongan nasi kepal terakhir dan mengangguk mantap. "Untuk apa lagi kita bertemu kalau enggak buat jalan-jalan bareng?"

Raka tertawa lebar. Wajahnya memerah dan aku merasa pipiku mulai menghangat. Di seberang taman, ada seorang perempuan yang bernyanyi diiringi keyboard-nya sambil berdiri. Suaranya tidak merdu-merdu amat, hanya enak didengar. Aku juga tak mengerti apa yang dinyanyikannya. Namun, suara tuts dan nada lembut yang merambat ke udara hingga serasa background dari taman Akihabara ini mendukung suasana hatiku.

Seseorang bertemu orang yang tepat, begitu kata buku, atau pepatah di salah satu cerita random yang kutemukan sehingga kalimatnya menyangkut di kepala tanpa tahu siapa pengarangnya. Aku bertemu orang yang tepat, kata hatiku, berusaha untuk tidak sepenuhnya menyangkal, walau tahu betul luka-luka di dalamnya belum sembuh sepenuhnya.

Hati, memang perkara yang sukar dipecahkan.

"Kamu pernah masuk ke kafe gundam?" tanyaku saat kami melewati kafe penuh orang mengantre itu sambil menunjuk-nunjuk.

Raka memasukkan tangannya ke dalam mantelnya lagi. Warnanya hitam pekat menjuntai hingga lutut dan terlihat tebal—sekaligus mahal. "Pernah, sekali. Ya, seperti itu, hanya karena penasaran. Aku juga enggak terlalu suka gundam."

"Makanannya enak-enak?"

Dia menggeleng. "Standar. Bentuknya saja yang macam-macam. Minumannya juga banyak banget variannya. Kalau penasaran, mau masuk?"

Ganti aku yang menggeleng. "Aku enggak tertarik," gelakku.

Hari mulai menggelap. Lampu-lampu pijar yang tadi terlihat tak terlalu mencolok saat masih ada cahaya matahari mulai memancarkan cahaya yang terang benderang, kelap-kelip, dan amat menor di tengah bangunan menjulang tinggi yang terlihat sangat ramai. Distrik ini begitu hidup, meriah, dan juga menyenangkan.

Tokyo TwilightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang