Tidak biasanya aku pulang selarut ini, tetapi karena pemenang tender pengadaan barang baru saja diumumkan, mau tidak mau aku harus mengerjakan banyak hal. Laporan keuangan, laporan administrasi siklus produksi, bahkan persiapan pembukuan akhir semester.
Meski begitu, waktu terasa melesat sangat cepat. Aku masih ingat betul pertemuanku dengan Raka minggu lalu. Hari Jumat yang sama, minggu yang berbeda. Kami menghabiskan banyak hal untuk dibicarakan, banyak makanan untuk dimakan. Malam berlalu begitu saja sampai pulang-pulang sudah lebih dari tengah malam.
Aku bermimpi indah malam itu.
Setelahnya kami tak terlalu banyak berbincang karena kami saling sibuk dengan urusan masing-masing. Dia meneleponku hari Minggu yang lalu setelah aku pulang dari panti asuhan, dan aku meneleponnya dengan video call dua hari yang lalu.
Aku tak menceritakan hal ini kepada siapa pun, termasuk Ditto. Kami tidak terlalu banyak berbincang setelah yang terakhir kali. Dan meski aku tidak menyukai caranya menasihatiku, aku juga merasa dia mulai berubah.
Sepertinya dia cukup banyak berubah sejak aku pergi ke Tokyo. Kadang aku tak mengenali kejenakaannya lagi, kadang dia terlampau serius hingga aku merasa canggung jika harus berbicara dengannya di depan orang lain.
Dia tidak mengatakan apa pun ke padaku. Sepertinya, bukan hanya aku yang menyembunyikan banyak hal.
Namun, aku bisa apa? Pikiranku sudah tersita untuk pekerjaan, kehidupan pribadi, dan Raka. Aku tak bisa menyalahkan siapa pun kalau nantinya hubunganku dengan Ditto akan semakin menjauh, jika dia terus-terusan berlagak aneh begini.
Setibanya di indekos sekitar jam 8 malam, aku segera merapikan kamar dan mandi. Perutku keroncongan dari sore, jadi aku ingin merebus mi jamur sebelum tidur. Aku tidak akan bisa tidur dalam keadaan kelaparan. Aku sedang memasukkan mi ke dalam air mendidih ketika ponselku bergetar di saku. Karena malas mengangkat telepon dari siapa pun saat berada di dapur, maka aku membiarkannya.
Sesaat setelah mi kutuang ke mangkuk dan aku membawanya ke kamar, ponselku kembali bergetar. Aku segera meletakkan mangkuk ke meja kerja dan mengecek notifikasi. Tenggorokanku tersekat ketika melihat nama yang tertulis di layar.
Apakah kami akan bertengkar malam ini?
"Halo." Jarang sekali aku ngomong 'halo' saat mengangkat teleponnya. Mungkin ini pertama kalinya setelah belasan tahun.
"Lu udah sampe rumah?" tanyanya dengan suara berat. Aku merasakannya menahan banyak hal untuk diutarakan, dan aku membiarkannya.
Rasanya ingin sekali aku menjadi biasa, melupakan apa yang telah dia katakan padaku. "Udah. Ada apa?" Kata-kata Ditto tempo hari mendadak menggema di kepalaku.
"Gue mau ngomong sesuatu sama lu," katanya lirih. Aku tahu apa yang sedang ditampilkan oleh wajahnya. Dia pasti menyesal telah memarahiku. Apakah dia tidak sadar bahwa aku merupakan satu-satunya sahabat yang paling setia padanya? Seharusnya dia tidak perlu berlebihan dalam menanggapi urusan percintaanku.
Aku menelan ludah, bersiap mendengar penjelasannya sambil mengambil sumpit dari laci. "Oke, gue dengerin. Semoga aja enggak marah-marah kayak tempo hari," balasku. Aku menjepit mi dengan sumpit dan menyeruputnya ke mulut sambil mengibaskan uap panas.
"Lu lagi makan?"
"Iya. Kayak biasa, mi jamur."
Terdengar suara tertawa dari ujung. Kebekuan yang sempat melanda kita berdua mulai mencair dan tiba-tiba aku merindukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tokyo Twilight
Romance[CERITA SUDAH TAMAT] Patah hati karena dikhianati oleh kekasihnya yang baru saja menikah dengan sahabat baiknya, Roselyne memutuskan untuk berlibur ke Tokyo dan berharap dapat menata hati. Sambil bercerita mengenai keindahan tentang Tokyo dengan sa...