~UNDANGAN~

244 15 5
                                    

Musim hujan semakin menjadi-jadi belakangan ini. Pegawai kantoran yang sibuk selalu pulang bawa tentengan, tak memikirkan soal pulang dalam keadaan cantik sedikit pun.

Aku mendesah, menyingsingkan lengan yang basah kuyup karena guyuran air yang meluncur dari payung. Kaki melangkah dengan tergesa, sedang bagian ujung rok sudah tak bisa diselamatkan. Percuma memakai baju bagus di musim hujan, selalu saja pulang dalam keadaan mengenaskan.

Indekos sudah dekat. Langkah kupercepat. Oh, ayolah, hujan. Yang benar saja! Tentenganku jadi basah semua karena cipratan air dari jalanan, dari motor dan juga mobil yang tak tahu diri, bisa-bisanya tak memikirkan nasib pejalan kaki sepertiku yang harus berjuang lebih banyak di tengah hujan.

Hari ini aku pulang lebih awal. Waktu petang adalah lebih awal bagi pekerja kantoran sepertiku. Budak korporat. Budak pekerjaan. Tapi bagaimana lagi? Tidak punya uang tak bisa makan. Tak punya uang tak bisa membayar kamar. Bagaimana pun, kamar itu sangat berarti.

Kamar yang sudah kuanggap seperti rumah. Itu memang rumahku. Aku tak pernah memiliki rumah selama ini, hanya kamar sewaan itulah satu-satunya milikku.

Gerbang warna hijau tua sudah di depan mata. Aku menaikkan payung, membiarkan lengan kiriku yang penuh tentengan menggenggam gerendelnya yang sudah karatan, lalu dengan sekuat tenaga kugeser pintu gerbang itu sambil sedikit memaki. Sore hari yang payah.

Pintu kembali kututup dan aku sedikit menengadah ke langit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pintu kembali kututup dan aku sedikit menengadah ke langit. Abu-abu semburat merah muda. Sepertinya hujan ini akan berlangsung lama. Tidak masalah, aku sudah sampai rumah. Haruskah aku merebus mi dan minum soda malam ini? Bir terlalu berat untuk malam yang dingin. Soda lebih baik.

Aku berjalan menyusuri jalan tegel penuh lubang yang dipenuhi tumbuhan liar di sekelilingnya sambil sedikit-sedikit berjinjit, ngeri kalau terpeleset. Tidak ada waktu dan tidak mau kesialanku bertambah. Dari tadi sudah cukup menderita; pulang jalan kaki dari halte terakhir sambil tertatih-tatih membawa tubuhku sendiri.

Kamarku di lantai dua. Menyusahkan, memang. Setelah melewati empat kamar, aku sampai di depan pintu. Kamar paling pojok. Kamar yang mendapat sinar matahari paling banyak. Aku memang penyewa paling setia di indekos ini, jadi selalu bisa memilih kamar yang paling enak dibanding penyewa lainnya.

Kunci dimasukkan, gagang sudah di genggam, dan pintu hendak kubuka ketika kakiku menyandung sesuatu, terselip di lubang ventilasi bawah pintu. Aku meletakkan tas dan tentengan, payung kujemur di depan pintu. Mataku awas mengamati benda itu ketika kenyataan tiba-tiba merebak bak hujan deras yang kedua. Bukan di luar. Di dalam sini. Bahkan di tempat yang paling membuatku merasa aman pun, kenyataan itu tak pernah benar-benar berlari.

Ia ada, nyata, di depan mataku.

Undangan pernikahan Daniel dan Tabita.

Aku ingin menendang kertas sialan itu ke halaman depan. Aku ingin mencabik-cabiknya hingga puas. Namun, yang kulakukan hanyalah diam membisu, memandangi kertas tebal mulus warna kuning berplastik itu dengan wajah kuyu.

Tokyo TwilightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang