~BROKEN~

51 4 0
                                    

Kami tak saling bicara selama beberapa menit. Beberapa kali saling pandang dengan kikuk, lainnya kami hanya menunduk sambil memilah menu. Kusaksikan dari seberang meja, pelayan restoran menunggu kami untuk memesan makanan atau minuman.

Sebenarnya aku hanya ingin bicara baik-baik dengan Raka, tetapi dia malah mengajakku makan malam di mal.

Aku benar-benar tidak tahan dengan kecanggungan ini. "Kerjaan oke?" tanyaku sambil membolak-balik menu.

Beberapa pengunjung mulai mendatangi kafe tempat kami makan malam. Jam pulang kerja memang pas ramai-ramainya, jalanan juga macet. Banyak orang yang memilih berjalan-jalan di mal terdekat terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah mereka. Kecuali bagi mereka yang sudah berkeluarga.

"Baik, lancar. Kamu?" Raka memandangku seperti sedang menyimpan berjuta hal untuk diledakkan di hadapanku begitu saja.

Aku mengangguk, lalu mengangkat tangan ke arah pelayan restoran. "Aku udah selesai milih menu, kamu jangan lama-lama, Rak." Pelayan restoran mendekati kami dan Raka menutup buku menu sambil memelintir jari-jarinya. Kebiasaannya dan Sofia mirip, suka memelintir jari jika sedang gelisah.

Pesananku dan Raka dicatat oleh pelayan dan keheningan itu kembali merayap saat pesanan kami dibuat. Aku harus segera mengatakan apa yang kemarin kualami padanya.

"Sofia datang ke kantorku," kataku gamblang. Kuikat rambutku membentuk cepol lalu melanjutkan, "Dia udah tahu semuanya."

Tentu dia tahu semuanya. Akan lebih menyakitkan jika Raka menyembunyikan kejadian ini darinya. "Maaf, Rose. Kami ketemu dua hari setelah aku pulang dari Tokyo dan kayaknya dia mulai nyariin info tentang kamu."

"Kenapa kamu enggak bilang kalau Sofia udah tahu?"

Raka terkesiap mendengar pertanyaanku. Dia menyilangkan lutut dan jakunnya bergerak-gerak gelisah. "Aku enggak ngira dia bakal dateng ke kantormu."

"Kamu enggak bisa mengira-ngira, Raka. Semua orang bakal ngelakuin hal yang sama kalau di posisinya," kesahku sambil memainkan tisu. "Oke, sekarang gimana? Kamu udah bicara baik-baik sama Sofia?" tanyaku lagi. kupandangi mimik wajahnya yang terlihat amat getir tersebut. Dia seperti sedang terjepit tanpa tahu harus melakukan apa.

"Udah. Tapi enggak lama karena Sofia nangis waktu aku jelasin semuanya."

"Kamu jelasin apa aja?"

Raka mendongak, "Semuanya. Dari masalah perjodohan yang enggak aku setujui sampai pertunangan kita yang mungkin bisa batal."

"Mungkin?"

Kami saling pandang dengan perasaan membuncah dan bayangan akan kebuntuan yang akan kuhadapi setelah ini semakin nyata. Jika aku memaksakan semuanya untuk terjadi, akan banyak hal yang patah. Jika aku mengalah, kami berdua yang patah.

"Aku belum bicara sama Mama," katanya dengan suara lirih seolah takut akan penolakan dari ibunya, "aku takut Mama kaget dan malah kondisinya tambah parah."

Tentu akan bertambah parah. Bagaimana tidak? Anaknya yang dititipi permintaan terakhir untuk segera menikahi tunangannya malah berpaling ke lain hati. "Raka ... kamu tahu? Sahabatku marah sama aku kalau aku ngambil keputusan buat mempertahankan hubungan kita. Sofia sampai berlutut di hadapanku demi biar enggak putus sama kamu. Kenapa di sini seolah aku yang salah dan ngerebut kamu?"

"Aku juga disalahkan, Rose," tukasnya bergetar.

Pipiku memanas dan rasanya aku ingin berteriak, "Siapa? Siapa yang nyalahin kamu? Sofia menganggap kamu ini lagi hilang arah karena jatuh cinta sama aku. Belum ibumu dan keluarga Sofia yang pasti nganggep aku sebagai perempuan enggak bener yang merebut tunangan orang, padahal aku sama sekali enggak tahu soal pertunangan kalian waktu kita ketemu dan saling suka." Aku mengambil napas panjang dan membuang muka dengan kesal, "Aku sedih karena semua orang nganggep aku jahat. Bahkan aku sendiri mulai berpikiran kayak gitu. Aku jahat, enggak memikirkan perasaan orang lain, perebut, lalala."

Tokyo TwilightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang