~WELCOME TO TOKYO~

70 9 0
                                    

Ini sudah cokelat keempat yang kumakan. Satu tahun terakhir memang masa-masa di mana aku senang sekali makan. Apa saja aku makan. Tidak ada lagi tubuh proporsional seperti saat sedang pacaran dengan Daniel.

Ditto tahu betul kelakuanku jika sudah stres; makanan bersantan, mi ramen pedas, dan soda. Aku juga punya stok bir di kulkas, kebutuhan utama jika tubuh dan jiwa terasa sesak. Aku tidak terlalu suka minum, itu buruk untuk kesehatan. Namun, ini kota besar yang sering mengirimkan banyak hantaman di kepala, sehingga aku tidak bisa menolak satu atau dua malam mabuk berat dan melupakan semuanya.

Terutama jika patah hati.

Aku mengelap jari-jariku yang kotor akan bekas cokelat ke celana, lalu fokus memerhatikan itinerary yang telah kubuat. Mulutku terus mengunyah sedang mataku terus mengekor lembar excel yang sudah kubuat dengan hati-hati.

Tidak biasanya aku merencanakan sesuatu sebaik ini; tidak semua harus direncanakan, kadang butuh loncatan acak untuk menikmati hidup. Meski begitu, aku adalah orang yang sangat teliti, tidak boleh melewatkan apa yang menjadi tujuan utamaku.

"Selamat siang, Pak," ucap salah satu pegawai dari bilik seberang kanan. Pak? Siapa yang datang ke departemenku tanpa telepon dulu?

Aku memutar kursi untuk melihat siapa yang datang.

Map putih transparan dilempar ke mejaku. Aku tersentak kaget, lalu melirik map itu dengan hati-hati. Astaga, permohonan cutiku! Aku sudah menunggunya sesiang ini, sedikit khawatir jika permohonannya ditolak.

"Ditto! Bikin kaget!" seruku padanya sambil menyambar map. Kubaca isinya dengan cermat dan bernapas lega setelahnya karena permohonanku sudah ditandatangani.

"Tujuh hari?" Wajahnya mengerut di hadapanku. Dahinya melipat dan dia berkacak pinggang. "Seriously, Rose?"

Aku segera berdiri sambil menghela napas. Dasar cowok emosional. Ngomong begitu saja harus sambil berkacak pinggang. "Gue sudah ajarin pegawai baru buat nanganin kerajaan gue, kok. Dwita udah lumayan jago. Ya, 'kan?"

Gadis lulusan sarjana dua tahun lalu dengan potongan poni samping itu langsung berdiri dari kursinya, lalu mengangguk mantap. "Siap, Kak Ros!"

"Ntar kalau ada apa-apa dia bakal langsung telpon gue," tambahku pada Ditto, plus satu ulas senyum supaya amarahnya agak reda. "Lagian, cuti kan hak gue, Dit."

"Bukan masalah itu juga. Elu sadar enggak, keputusan kayak gini itu enggak dewasa banget tahu enggak, sih!?"

Aku mengerutkan kedua alis. "Maksudnya?"

"Lu labil. Kaya anak-anak putus cinta semalem. Makanya sampe bela-belain ke Tokyo buat ngelupain sampah kaya dia," kata Ditto dengan suara beratnya yang jarang dia keluarkan saat bersamaku.

"Jangan ngaco kalau ngomong." Wajahku memanas akibat ucapannya yang menusuk hati. Dia benar-benar tidak seperti biasanya.

"Gue enggak ngaco. Lu yang ngaco. Ntar di Tokyo kalau ada apa-apa lu mau minta tolong siapa? Lu belum pernah ke luar negeri sendirian, Rosek."

Aku hendak mendebatnya lagi ditambah dengan rentetan kekesalan yang kemarin-kemarin belum sempat kuungkapkan, tetapi melihat ketenangan pegawai yang lainnya, aku menjadi tidak enak hati.

Kami berdua kalau sudah bertengkar bisa sampai buat rumah roboh, tidak baik dilakukan di dalam kantor dan disaksikan oleh orang banyak.

"Rooftop?"

Ditto tidak menjawab dan hanya berjalan mendahuluiku. Tangannya melipat di depan dada, sedang ekspresinya masih belum berubah. Bukannya di sini aku yang harusnya marah? Aku yang patah hati dan ingin kabur ke negara lain, kenapa dia yang marah-marah?

Tokyo TwilightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang