~HOPE~

30 3 0
                                    


Mataku mengerjap beberapa kali. Kuturunkan selimut dari tubuhku. Udara sejuk tak lagi menyambutku, hanya cahaya pagi yang terasa lembap dan panas. Pundakku terasa pegal dan pandanganku berbayang. Aku meraba ke sekeliling, ke samping kanan dan kiri, lalu ke atas kepala. Benda itu tergeletak dengan kabel yang masih menancap seperti selang infus.

Aku menghela napas. Rasanya begitu cepat. Amat cepat.

Kupaksa kakiku untuk turun dari kasur dengan sedikit sentakan menuju ujung ruangan dekat kamar mandi dan menjentikkan saklar. Lampu menyala terang seperti membelah hitam. Koperku masih teronggok di samping meja kerja, terguling. Beberapa tentengan mengelilinginya, terbuka dan menampakkan seluruh isinya.

Baru beberapa jam yang lalu kelopak sakura itu hinggap di tanganku. Baru sehari yang lalu, baru dua hari, tiga hari, baru kemarin. Aroma pria itu masih menempel pada tubuhku, seolah menjadi satu dengan wangi rambutku. Seolah dia memberikan aromanya untukku.

Teringat kemarin malam ketika aku mengumpulkan barang-barangku dengan cepat dan serampangan, menimbulkan banyak suara dan perasaan membuncah. Koper kubuka tutup berkali-kali, dan besar kemungkinan aku meninggalkan satu atau dua barang di hotel itu. Aku tergesa-gesa dan tak bisa berpikir panjang.

Selama perjalanan di kereta bandara selepas pukul tujuh pagi, yang kupikirkan hanyalah tatapan sendu itu. Wajah yang memesona. Wajah yang pas di tangkup tanganku. Wajah yang pas untuk bersandar di bahuku, memelukku.

Semuanya terasa terlalu nyata dan kini aku mulai merana karena hari-hari indah penuh harapan itu mulai berlari bagai bayang-bayang sekelebat. Seolah hanya lewat. Tak tersentuh. Tak tergenggam.

Kubuka ponsel dan aku menghubungi nomornya. Mati-matian aku menahannya ketika mendarat di Jakarta dan merebahkan diri ke kasur setelah perjalanan panjang. Mati-matian aku berusaha menyadarkan pikiranku bahwa mungkin saja semua ini masih salah, belum benar. Belum seratus. Hanya praduga dan prasangka.

Namun, pertahananku meluruh seketika saat suara itu menyahut dari ujung sambungan.

"Aku udah nunggu telepon dari kamu, Rose. Gimana penerbanganmu? Capek, ya?"

Aku mengangguk berkali-kali. Menggigit bibir berkali-kali. Suara itu begitu merdu sekaligus hangat. Aku ingat aromanya. Aku ingat semuanya. "Baik. Semua lancar. Aku langsung tidur waktu sampai rumah. Ibumu?"

"Syukurlah. Ibuku baik. Enggak separah yang kukira. Hari ini kerja atau masih cuti?" Dia bertanya dengan nada itu lagi, nada yang membuatku jatuh hati, serta kehangatan yang sama. Seolah dia berada tepat di sampingku dan menggenggam tanganku seperti saat di Tokyo.

"Aku masih cuti. Hari ini terakhir, tapi aku mau me time. Urusanku udah selesai di Tokyo," jawabku dengan perasaan gelisah. Jika kami berada di kota terpadat sedunia itu sekarang, dia mungkin akan menggodaku. Sedikit meledekku. Kami kenal sebentar, tetapi rasanya aku telah mengenalnya bertahun-tahun.

"Aku seneng kita melakukan banyak hal di Tokyo. Rasanya kayak punya teman jalan-jalan yang enggak pernah aku duga, dan ketika menjalani, aku merasa punya sosok istimewa di samping aku. Makasih, ya, Rose. Perjalananku di Tokyo benar-benar menyenangkan." Suaranya lirih dan seolah mendayu-dayu, tetapi dia mengatakannya dengan ringan.

"Aku yang seharusnya berterima kasih. Semuanya jadi lebih mudah karena ada kamu." Yang harusnya kukatakan adalah aku berterima kasih karena dia telah menjadi orang yang tepat untuk pelarianku. Orang yang tepat untuk melupakan orang lain.

Tokyo TwilightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang