13. Duka

540 136 67
                                    

Ayah Gavin meninggal karena serangan jantung. Itu memang mendadak sekali. Jadi Jian paham perasaan Gavin saat ini. Ayah Gavin tidak bisa melihat Gavin untuk terakhir kalinya, begitu juga sebaliknya. Dan itu sedihnya berkali lipat pastinya untuk Gavin sendiri.

Gavin terlihat berusaha untuk kuat. Dia bahkan tidak menangis selama perjalanan itu. Padahal dia boleh saja nangis, wajar menangis saat kita kehilangan orang yang kita sayangi terlebih itu orang tua kita. Jian pernah berada di posisi seperti ini, kehilangan ayah saat Jian bahkan belum dewasa.

"Bang." Jian menyentuh punggung tangan Gavin. "kalo mau nangis, nangis aja. gue paham posisi lu kok bang." Kata Jian

Gavin tersenyum tipis, raut wajahnya tidak bisa berbohong. "enggak Ji, gue kuat kok. Insya allah gue ikhlas." Kata Gavin

Jian tidak tahu harus menghibur dengan cara apa, jadinya dia diam saja sampai mereka kita tiba di Jogja, di kediaman Gavin setelah menempuh perjalanan hampir sembilan jam. Syukurnya jenazah ayah Gavin belum di makamkan, keluarga benar-benar menunggu kedatangan bang Gavin.

Saat sampai di rumah, keluarga Gavin langsung menghampirinya terus memeluknya sambil menangis. Tapi Gavin pada saat itu tetap terlihat kuat, hanya tersenyum pilu sambil menepuk-nepuk punggung wanita paruh baya yang mungkin itu adalah ibunya.

Barulah ketika Gavin bersimpuh di samping jenazah ayahnya, lalu dia membuka kain penutup wajah ayahnya dan tampaklah ayahnya yang terbujur kaku, Gavin pun nangis. Bahunya bergetar hebat. Gavin membisikkan sesuatu di telinga ayahnya, mungkin kalimat syahadat, entahlah Jian tidak tahu.

Jian cuma bisa berdiri di tempatnya sambil ikutan merasakan pilu. Gavin yang Jian kenal sebagai orang yang tenang selama ini, kini terlihat rapuh di sana.

Beberapa saat kemudian Gavin menghampiri Jian dan mengenalkan Jian pada adik perempuannya. "Jian, ini adik gue Vina, dek kamu bawa kak Jian ke kamar tamu ya, kasian dia cape butuh istirahat." Kata Gavin pada adiknya. Gusti! masih sempat-sempatnya dia memperhatikan Jian di saat berduka begini.

"Ayo kak Jian." Ajak Vina. Jian pun mengikuti langkah Vina yang membawanya ke ruang tamu. Vina terlihat mirip dengan Gavin, wajahnya juga teduh, terus pakaiannya syar'i, sangat tertutup. sepertinya keluarga Gavin memang orang-orang yang taat agama deh. di kos Gavin juga rajin sekali shalatnya sama seperti Alby.

"Kak Jian istirahat di sini aja, kamar mandinya juga ada di dalem kalau mau mandi. Nanti Vina bawain makan malem buat kak Jian." Kata Vina, suaranya lemah lembut dan sopan.

"Nggak usah Vin, kak Jian gak laper kok. Habis ini gue juga balik lagi ke depan, cuma mau mandi dulu sebentar." Kata Jian. Iya kali dia enak-enakkan di sini sementara orang-orang lagi berduka di luar.

"Yaudah, Vina keluar dulu ya kak, kalo butuh apa-apa panggil Vina aja."

"Oke, makasih ya Vin."

Seperginya Vina, Jian pun segera mandi lalu mengganti bajunya dengan pakaian yang lebih tertutup dan sopan, kemudian dia pergi ke depan lagi. dia melihat Gavin sudah mengganti pakaiannya dengan baju koko berwarna putih dan peci warna putih juga. Ketika menyari kemunculan Jian lagi, Gavin langsung memberi isyarat supaya Jian duduk di sampingnya.

"Lu nggak cape apa, istirahat aja gapapa sana." Bisik Gavin begitu Jian duduk tepat di sebelah kanannya

"Ya kali bang gue istirahat, sedangkan lu lagi berduka gini." Kata Jian. Gavin tersenyum lalu mereka membaca al-quran surah yasin di samping jenazah ayah Gavin.

Jian pikir jenazah ayah Gavin akan di makamkan besok pagi, tapi ternyata malam itu juga. dua jam setelah kedatangan Gavin. Jian tidak ikut mengantar ke tempat pemakaman, dia menunggu di rumah bersama pelayat lainnya, itu juga Gavin yang minta.

Beberapa saat kemudian Gavin dan keluarganya pulang dari pemakaman. Beberapa pelayat memutuskan pulang ke rumah masing-masing, hanya kerabat dekat saja yang masih ada di rumah duka.

"Bang Gavin gapapa?" tanya Jian saat Gavin datang

"Gapapa Ji." Jawabnya. Gavin terlihat lebih tenang sekarang. Duh ini orang tegar banget sih.

"Lu belum makan ya dari tadi, ayo sini ikut gue." Kata Gavin terus membawa Jian ke dapur rumahnya

"Bang, nggak usah peduliin gue dulu." Kata Jian tak enak hati.

"Ya kali gue nelantarin lu di sini, bisa dihajar sama bang Al gue nanti." kata Gavin

"Kok bawa-bawa bang Al sih?" tanya Jian heran. Tapi Gavin cuma tersenyum penuh maksud, seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan.

"Kita makan dulu ya, gue juga laper nih, baru kerasa." Kata Gavin sambil menepuk-nepuk perutnya sendiri.

Jian dan Gavin duduk berhadapan di kursi makan. Kok Jian baru sadar ya, Gavin terlihat lebih tampan dengan peci putih yang dipakainya itu, wajahnya makin tambah teduh, seperti bersinar.

"Orang tua lu masih lengkap kan Ji?" tanya Gavin tiba-tiba

"Ayah gue udah meninggal saat gue umur tujuh tahun bang, Cuma sisa bunda sekarang."

Gavin tertegun beberapa saat. "sorry!" ucapnya

"Gapapa bang."

"Ditinggal saat umur semuda itu pasti berat banget ya Ji, gue aja terpukul banget tapi insya allah gue ikhlas. Tapi Ibu lu orang yang hebat bisa ngebesarin lu dan mendidik jadi pribadi yang mandiri dan baik begini." Kata Gavin

Jian hanya tersenyum masam. Gavin tidak tahu saja kalau yang membesarkan Jian adalah mendiang neneknya, sedang bundanya sendiri tidak peduli lagi padanya sekarang. Tapi Jian tidak mau berbagi cerita pada Gavin tentang masalahnya. Gavin masih berduka sekarang.

"Iya bang, bunda gue emang orang yang hebat." Timpal Jian akhirnya

"kalo punya masalah, jangan sungkan berbagi sama gue ya, andalin gue aja. gue udah anggep lu kaya adek gue sendiri." Kata Gavin

"Iya bang, makasih."

"Gue juga makasih karena lu mau nemenin gue pulang ke Jogja."

Lalu mereka melanjutkan makan dengan lahap.

-oOo-









!!!"part lengkap tersedia di KBM app"❣

KOSAN GERHANA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang