24. Egois

418 113 15
                                    

***

Akhir pekan yang kedua, dimana Jian menjadi guru privat untuk Gwen. Seperti biasanya mereka hanya belajar dua jam saja, setelah itu Gwen mengajak Jian bermain di halaman rumahnya yang banyak dengan tanaman bunga, sepertinya Gwen lebih suka bermain ketimbang belajar, dan kehadiran Jian membuatnya sangat antusias, karena Jian tidak seperti guru privat yang sebelum-sebelumnya. Jian orang yang humble dan memahami Gwen. Jian mengerti kalau di usia seperti Gwen memang ingin banyak bermain dulu, karena itulah Jian tidak hanya menjadi guru untuk Gwen, tapi juga teman. Gwen juga sangat menyukai Jian karena itu.

"Tante Lena!" Gwen tiba-tiba berteriak sambil melambaikan tangan pada seseorang yang baru keluar dari sebuah mobil. Jian turut menoleh kemana arah tangan Gwen dan dia tertegun beberapa saat setelah menyadari bahwa orang yang disapa Gwen adalah Helena, bundanya.

Ternyata rumah mewah yang berada di samping rumah Gwen itu adalah kediaman Helena. Wanita itu adalah tetangga Gwen. Tentu saja Jian tidak mengetahui hal itu, bertemu Helena saja dia jarang, jadi bagaimana mungkin dia mengetahui kehidupan bundanya lebih banyak. Helena menutup diri dan tidak pernah membicarakan keluarga barunya pada Jieun. Sebatas yang Jieun tahu, suami Helena bernama Heru dan memiliki seorang putri yang pesakitan. Itu saja.

"Gwen, lagi apa sayang?" Helena tampak ramah menyapa Gwen

"Lagi metik bunga tante."

Helena tersenyum, pandangannya bertemu Jian, dan sedikit canggung dia bertanya dan menunjuk ke arah Jian. "dia siapa?"

Memejamkan mata, merasakan bagaimana hatinya dicabik-cabik, Jian ingin sekali menangis saat itu juga. Sebegitu tidak sukanya Helena pada dirinya sehingga berpura-pura tidak mengenal putri kandungnya sendiri. Itu keterlaluan. "ini kak Jian, guru privatnya Gwen tante." Jawab Gwen.

Mengikuti skenario yang diciptakan bundanya saat itu, maka Jian pun tersenyum seolah dia juga tidak mengenal siapa Helena. "Halo tante."

"Halo." Helena membalas sapaannya dan tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu, dia kemudian masuk ke dalam rumahnya. Sekarang Jian menyadari bahwa sudah tidak ada celah untuk merebut hati bundanya lagi. Mereka sudah menjadi sosok yang asing. Rasanya sakit sekali menghadapi kenyataan ini.

"Kak Jian." Gwen menepuk pundak Jian, "kak Jian kenapa?" Gwen khawatir karena raut wajah Jian tampak sedih.

"Oh...kenapa Gwen?"

"Kak Jian kok melamun?"

"Nggk kok, kak Jian nggak melamun-bunganya udah cukup kayanya kita masuk ke dalam yuk!" ajak Jian mencoba untuk tersenyum di hadapan Gwen.

Gwen mengangguk dan mereka masuk ke dalam, mengganti bunga di dalam vas kecil yang sudah layu. Jam enam sore Jian pulang ke kosan, dan kali ini dia menolak diantar pulang oleh Jeffrey. Dia ingin sendiri, suasana hatinya belum membaik setelah pertemuannya dengan Helena tadi.

Setelah Helena tahu kalau Jian jadi guru privat Gwen, itu tidak akan membuatnya terganggu kan?

Ternyata dugaan Jian benar. Sehari setelah hari itu Helena mengajak Jian bertemu, kali ini Helena yang menghampiri langsung ke Jakarta selatan, mereka bertemu di salah satu kafe jam tujuh malam itu.

"kenapa kamu bisa jadi guru privatnya Gwen?" Helena tidak berbasa basi lagi, karena tujuannya mengajak Jian bertemu memang untuk membicaraka soal itu.

"Jeffrey teman sekampusku bun, dia nawarin aku buat jadi guru privat adiknya."

"Apa uang yang bunda kasi ke kamu masih kurang sampe kamu kerja jadi guru privat?" ada nada kesal yang terdengar dari suara Helena.

"Aku nggak mungkin cuma ngandelin uang yang bunda kasi, aku mau cari uang sendiri, dan kebetulan aja Jeffrey nawarin kerjaan ini ke aku."

Helena memalingkan muka tak suka. "Berhenti jadi guru privat Gwen, bunda merasa terganggu karena itu." ucapnya dingin dan penuh penekanan.

"Terganggu apanya sih bun, aku kan ngajar di rumah Gwen bukan di rumah bunda."

"Berhenti pura-pura tidak paham Jian, itu akan jadi masalah buat bunda nanti kalo suami bunda tau kamu jadi guru privat Gwen, dia bakal berpikir kalo kamu sengaja jadi guru Gwen supaya bisa ketemu bunda."

Jian tersenyum miring, senyum ejekan untuk dirinya sendiri dan untuk keadaan pelik yang ia hadapai sekarang. Dengan mata berkaca-kaca dan dengan dada yang terasa sesak dia bertanya pada bundanya untuk memastikan sesuatu. "Benarkah suami bunda akan berpikiran seperti itu? Itu bukan hanya asumsi bunda aja kan, bagaimana kalo sebenarnya suami bunda tidak mempermasalahkan hal itu?"

"Jian berhenti keras kepala. Bunda sudah melahirkan kamu, bunda membesarkan kamu, tidak bisakah kamu melakukan satu hal ini untuk bunda, berhenti jadi guru privat Gwen, lagipula itu tidak merugikan kamu kan."

Kemarahan siap meledak dalam dirinya, beribu kata protes tersusun sendiri dalam otaknya, namun bibirnya enggan untuk mengucapkan itu. pada akhirnya semua emosi itu hanya tertahan ditenggorokan. Hanya air mata yang merembes keluar dari kedua mata cantiknya.

"Jadi anak yang penurut bisa kan Jian." Ucap Helena seakan tak mempedulikan air mata anaknya, berpura-pura tak peka bahwa gadis di hadapannya itu terluka oleh semua kata yang keluar dari mulutnya.

"Minggu depan bunda nggak mau liat kamu datang ke sana lagi." Itu kelimat terakhir Helena sebelum pergi meninggalkan putrinya dengan langkah angkuh.

Tangan yang semakin terkepal kuat, menahan diri untuk tidak berteriak di sana, Jian menyadari satu hal bahwa tidak ada orang paling egois yang ia kenal selain bundanya sendiri.

"Jian, lo di sini?" sebuah suara menginterupsi, menghentikan lelehan air mata Jian seketika. Menoleh ke sumber suara, Jian menemuka Elang telah berdiri tak jauh dari posisinya, dengan ransel hitam di punggungnya dan earphone menggantung di salah satu telinganya.

"Lang? kok lo juga bisa ada di sini?" Jian cukup kaget dengan kehadiran Elang, kebetulan yang tak terduga mereka bertemu di sini.

Elang mendekat, mengamati Jieun yang sedang menghapus jejak air mata di pipinya, matanya terlihat sembab. Jelas, gadis itu habis menangis. "Gue habis nugas sama temen-temen di sini, lo baik-baik aja kan?" Elang menilik Jian dengan kening berkerut dan sedikit membungkukkan badan.

"Iya, gue baik-baik aja." Jian tersenyum

"Yaudah pulang yuk!"

Elang membiarkan Jian berjalan duluan keluar dari kafe. Pemuda itu sebenarnya tahu kalau Jian tidak baik-baik saja, pasti ada masalah yang sedang di hadapinya. Seseorang tidak akan menangis tanpa sebab dan alasan. Namun, seakan mengerti bahwa Jian tidak akan berbagi cerita saat ini, maka Elang memilih diam saja.

"Jian, mampir ke rumah dulu ya, udah lama soalnya gue nggak pulang." Kata Elang, entah kenapa dia berpikir bahwa membawa Jian ke rumahnya adalah pilihan yang tepat. Gadis itu bisa bertemu mamanya, jika Jian tidak ingin berbagi cerita dengan Elang, barangkali dia mau berbagi cerita dengan mamanya Elang.

Gadis itu juga tampak setuju untuk ikut ke rumah Elang. Dan Ratna selalu menyambut mereka dengan hangat tiap kali mereka ke sana.

"Apa kabar sayang?" alih-alih menyambut putranya, Ratna malah memeluk Jian hangat saat mereka tiba di sana. sebuah perlakuan yang sederhana namun membuat Jian terharu, Ratna seolah mengerti bahwa gadis yang baru saja dikecewakan ibu kandungnya itu sedang membutuhkan pelukan dan kasih sayang.

Elang memang tidak mengatakan banyak hal namun dia mengajak Jieun ke balkon rumahnya, membiarkan gadis itu menikmati suasana malam dengan semilir angin segar. Terasa dingin, namun Jian tetap suka. Embusan angin malam seakan mengobati luka hatinya saat itu.[]





!!!"Part lengkap tersedia di KBM app"

KOSAN GERHANA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang