Part 12

70.8K 2.8K 281
                                    

Rabu, 4 November 2015, Embun ingat saat itu perpustakaan kampus begitu sepi, padahal kegiatan perkuliahan di siang hari masih sangat ramai. Jaman memang semakin canggih, banyak teman-teman Embun yang lebih memilih referensi buku digital dibanding fisik, jadi pengunjung perpustakaan tidak sebanyak jaman Embun masih SMA dulu.

Tapi bagi Embun yang menyukai aroma kertas buku yang bercampur debu, mengunjungi perpustakaan adalah hobinya. Ia bisa menghabiskan setengah jam istirahat kuliahnya hanya untuk duduk di perpustakaan dan membaca banyak karya sastra.

Embun memang suka buku, tapi bukan berarti ia kutu buku, Embun anak yang aktif. Ia banyak ikut serta di kegiatan kampus. Seperti menjadi anggota senat fakultasnya sampai ditunjuk menjadi panitia di beberapa acara besar yang ada di kampus.

Itu sebabnya, saat seorang senior berperawakan tinggi dan rapi menghampiri Embun di siang itu, Embun tahu siapa namanya.

"Kak Randra. Hei..." Embun menyapa lelaki yang duduk di depannya. Randra tersenyum sangat manis, meletakkan bungkusan karton di depan Embun sambil berbisik.

"Makannya diem-diem." mata Ran berkilat jahil, pandangannya mengedar ke seluruh penjuru perpustakaan. Mereka ada di meja pojok lorong kedua dari sebelah kiri pintu masuk.

"Di perpus kan gak boleh makan kak." Embun menimpali, mereka berdua bertatapan, kilat jahil di mata Ran bertambah intens saat mereka saling menatap. Kemudian senyum lebih lebar hadir di bibir Embun yang kini terkikik pelan.

"Asal gak ada yang lihaaaatt.." Embun dan Randra mengucapkan kalimat yang sama dengan nada panjang yang juga sama. Mereka tertawa pelan, Ran memiringkan kepalanya menatap Embun dibalik kacamata yang ia gunakan.

Embun sudah lama menarik perhatian Randra, Ran tidak pernah menyangka, gadis semungil Embun bisa sering menjadi perwakilan senat fakultas untuk bergabung dalam kepanitiaan acara besar.

Apalagi Embun berasal dari daerah yang bisa dibilang tidak terlalu terkenal, bukan seperti Jakarta atau Surabaya, daerah ini dulunya tempat masa kecil Randra, ibunya berasal dari sana. Sedangkan ayahnya keturunan campuran Vietnam dan Indonesia. Ran sudah sangat lama tidak pernah pulang ke desa ibunya, desa Embun juga.

"Terimakasih, tahu banget aku demen burger double cheese-nya McD." Embun sudah melahap separuh burger yang Randra berikan.

Beginilah Embun, pikir Ran. Ia tak pernah menjaga image atau berpura-pura anggun seperti kebanyakan gadis lain. Ia bahkan tak repot-repot membuat burgernya sekempes mungkin agar mulutnya tidak mangap secara berlebihan.

Justru yang terlihat di mata Ran, Embun begitu manis dan cantik. Ia melahap burger pemberiannya dengan semangat dan antusias, bahkan ada saus di ujung mulutnya.

"Ada saus." Ran mengusap ujung mulut Embun dengan ibu jarinya, membuat Embun berhenti mengunyah dan mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang ia baca ke wajah Randra.

"Haha terlalu laper kak." kata Embun singkat, ia kembali fokus membaca buku dan mengunyah.

Ran sudah melakukan pendekatan ini lebih dari tiga bulan, Ran akan diam-diam mengekori tubuh mungil Embun tiap jam istirahat fakultas kampus mereka dan mendapati Embun menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membaca di perpustakaan.

Tapi Ran hampir tak sabar karena Embun tidak pernah menunjukkan ketertarikan yang lebih dari sekadar senior dan junior saat berada di dekatnya. Randra harus jujur bahwa mendekati Embun sangat sulit dibanding saat Randra mendekati gadis lain, biasanya justru kebanyakan gadislah yang mendekati Randra.

Jadi ketika Embun tidak juga peka terhadap kode-kode yang Randra berikan, Ran rasanya hampir menyerah. Randra pernah hampir menyerah seminggu yang lalu, tapi sedetik setelah Randra memutuskan untuk menyerah, Embun datang dengan kacamata baca bulat yang belum pernah Ran lihat sebelumnya, sedetik kemudian Ran jatuh cinta lagi.

Tetangga Dudaku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang