Part 17

16K 1.2K 127
                                    

Bu Gita memandangku dari balik meja kerjanya. Sudah lebih dari 5 menit kami ada di posisi ini. Dia duduk di kursinya, diam saja sambil mengamatiku secara berlebihan.

Situasi ini sungguh canggung, aku rasa dia bisa membakar wajahku dengan tatapannya yang dingin.

"Jadi, kamu gak mau kasih tahu alasan kenapa kamu mendadak minta pindah ke rumah sakit lain?" Bu Gita mengeja kata-katanya, ia sengaja menekanku untuk memberitahu alasan mengapa aku ingin dipindahkan.

Aku mengangguk sambil menunduk. Aku tahu, sekarang Bu Gita sedang marah, ia sudah berbaik hati memberiku izin mengambil jatah cuti tahunan dimuka, tapi ketika aku kembali masuk, aku justru memohon untuk dipindahtugaskan.

"Oke!" Tiba-tiba, ia menggebrak mejanya.

"Aku gak akan kasih izin kamu untuk pindah." lanjutnya membuat hatiku stuk di tempat, sebenarnya dalam hati aku tahu bahwa ia akan menolak permintaanku.

Aku mendongak, menatapnya yang sekarang berwajah galak.

"Tapi bu.."

"Ssst.. Aku gak punya alasan buat mindahin kamu, dan kamu juga gak kasih alasan kenapa mau pindah. Jadi kenapa aku harus nurutin omong kosong ini?" Bu gita berkata,  memijit pelipisnya sambil melepas kacamata yang ia kenakan.

"Mas Agung belum bercerai." Akhirnya aku memuntahkan kegusaranku pada Bu Gita. Padahal aku tidak mau mengulang-ulang kebenaran yang menyakitkan ini.

"Ya, Agung memang belum bercerai." Bu Gita menimpali dengan santai.

Aku membelalak, menatap wajahnya yang terlihat santai saat mengatakan bahwa dia tahu kalau Mas Agung belum bercerai. Bodohnya aku, tentu saja dia tahu hal ini. Mas Agung adalah pasiennya!

"Jadi, tapi, kenapa.. "

"Kenapa aku gak kasih tau kamu?" ia bertanya, aku mengangguk karena tidak sanggup membuka mulut.

"Satu, dia pasienku maka hasil konsultasinya tidak akan pernah aku sebarkan, bahkan ke kamu. Dua, fakta bahwa dia belum cerai gak ada kaitannya denganmu. Tiga,..."

"Stop! Ibu..." aku menghentikan Bu Gita yang sedang berbicara, belum pernah sekalipun aku bersikap seperti ini padanya. Tapi mendadak aku merasa mual. Dia mengatakan, fakta bahwa Mas Agung belum bercerai sama sekali tidak ada kaitannya denganku.

Dan dia benar! Aku skakmat!
Kenapa aku harus marah dan kecewa? Kenyataan ini justru jauh lebih menamparku ribuan kali.

"Tapi kenapa ibu memberikan saya tugas untuk mencari tahu semua tentang fetish dan penyebabnya." Aku tidak bertanya padanya, aku seperti mengkonfirmasi pada diriku sendiri. Aku merasa hampir menangis lagi sekarang,

Bukannya menjawab pertanyaanku, Bu Gita berdiri dari kursinya. Memegang bahuku, memintaku untuk ikut berdiri, ia menuntunku agar duduk di sofa, kami berdua duduk beriringan.

"Embun. Dengar," Bu Gita menghadap padaku, ia meletakkan telapak tangannya di atas tanganku yang mati rasa.

"Agung adalah pasien. Kamu adalah calon psikiatri yang sedang magang di sini, dan saya adalah mentor kamu," ia melanjutkan.

Aku mengangguk, ia benar, semua yang Bu Gita katakan benar. Mas Agung adalah pasien! Dan mengapa aku harus merasa sangat tersakiti ketika kami tidak memiliki hubungan apapun?

Aku tahu itu semua, akulah yang sangat mengerti situasi memuakkan ini, tapi aku sendiri yang merasa kebingungan untuk mengakhiri semuanya. Ini salah, karena semuanya berawal dari obsesi masa kecilku pada Mas Agung.

Tiba-tiba mataku panas, aku tidak sadar mataku berair saat Bu Gita memberiku selembar tisu, ia melanjutkan apa yang kami bicarakan.

"Aku akan berusaha untuk cari tahu penyebab kesakitan pasienku. Aku ingin mereka sembuh dan bisa menjalani hidup lebih normal. Saat konsultasiku dengan Karagung, aku bisa tahu bahwa dia hanya bisa terbuka denganmu, makannya aku tugaskan kamu untuk mencari tahu semua yang kubutuhkan untuk menyembuhkannya. Aku gak tahu kalian akan berakhir seperti ini."

Tetangga Dudaku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang