Part 1

152K 4.4K 126
                                    

Dia mengedip cepat, bulu matanya yang lebat membuat matanya yang bulat menjadi sangat sempurna. Aku tahu ini tidak akan mudah, Embun tidak mungkin bisa memahami masalah yang terjadi padaku.

Aku dan Embun bukan dua orang yang dekat, kita hanya saling mengenal. Apalagi kita sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Namun kuakui entah bagaimana aku bisa se-percaya diri ini untuk meminta bantuannya.

"Gimana, gimana caranya aku bisa bantu?" ia mencicit, dan sialnya pipinya merona. Tiba-tiba aku sadar bahwa Embun sudah menjadi gadis dewasa yang cantik. Tentu saja dia cantik dengan mata bulat, bibir merah penuh, dan wajahnya yang oval.

Hentikan Agung, kau bedebah tua brengsek yang tidak tahu malu dengan memikirkan bagaimana cara wajah cantik dengan bibir penuh itu akan membuatmu ereksi.

"Ehem.. Bukan, bukan semacam itu yang kamu pikirkan. Aku kira kamu kuliah Jurusan Psikologi dan sedang magang kan? Kamu pasti tahu semacam sesuatu, gangguan pada diri saya?" oke, ini bodoh. Aku kembali menjadi kamu dan saya, ini kebiasaan untuk menyembunyikan betapa aku sangat gugup berbicara dengan gadis muda di depanku.

Dia juga berdeham, sedetik aku yakin dia benar-benar tersipu. Apa aku membuatnya malu?

"Ah, aku ngerti mas. Apakah mas mau aku buatkan jadwal bertemu dengan spesialis neurosains yang merupakan mentorku untuk bantu atasin masalah yang mas punya?"

"Tidak! Eh maksud saya tidak begitu. Saya meminta bantuan kamu mbun, bukan orang lain." aku harap nadaku tidak terlalu mendesak karena Embun sekarang agak mengkerut di tempatnya berdiri.

"Aku? Tapi aku masih magang mas. Aku bahkan belum menyelesaikan program speasialisku." ujarnya sambil memperhatikan lingkungan sekitar kami.

Aku tak sadar bahwa kami sudah cukup lama berdiri mengobrol di depan halaman rumahnya, lampu-lampu halaman depan rumah lain sudah mulai dipadamkan, itu pertanda bahwa sudah banyak tetangga yang bangun dan akan melakukan aktivitas pagi mereka, membuka pintu dan melihat kami berdua mengobrol canggung di halaman di pagi buta.

Aku tidak mau membuat gadis dengan rambut hitam yang aku yakin akan sangat lembut jika aku menyentuhnya ini mengalami masalah karena mengobrol dengan seorang duda di pagi hari. Maka aku menarik lengannya untuk mengikutiku menuju halaman belakang rumahku.

Rumah kami sangat dekat, dulu aku bahkan bisa mendengarnya menangis saat salah satu kaus kakinya hilang padahal ia sudah sangat terlambat ke sekolah. Kuakui, aku sering memperhatikan Embun, ia salah satu objek dari sedikit objek yang senang kupandangi, apalagi saat dia dengan wajahnya yang cukup menggemaskan meminta ibunya untuk membelikannya es krim tiap kali aku menyapa ibunya di depan halaman rumahnya.

Dan Embun yang sekarang sedang berada di depanku adalah Embun yang berbeda dari beberapa tahun lalu. Dia bertambah tinggi, kepalanya tepat ada di dadaku dan ia harus mendongak untuk melihatku dan berusaha berbicara denganku.

"Mas Agung, aku betul-betul gak paham sama apa yang terjadi sama mas. Mas minta aku buat mas ereksi, kemudian mas bilang ini ada hubungannya sama psikologi, dan aku udah kasih saran untuk ketemu salah satu mentorku buat diskusiin situasi mas yang aku bahkan gak tahu. Tapi mas bilang kalo mas cuma butuh bantuanku dan mas di sini, tarik aku ke halaman belakang rumah mas." ia terengah dan aku hanya bisa menganga.

Aku tahu ini tidak sopan tapi aku tidak menyangka Embun kecil bisa dengan mudah mengungkapkan apa yang dia pikirkan dalam satu tarikan nafas dan itu cukup membuatku tercengang, sebisa mungkin aku menutupi senyum yang memaksa hadir di sudut bibirku hanya untuk melihatnya memicingkan mata, oh Tuhan, dia imut dan aku kira dia pendiam.

"Maaf, Saya gak tahu gimana caranya jelasin kondisi saya dengan kata-kata. Jadi apakah saya boleh lakukan sesuatu, semacam pertunjukan agar kamu paham situasi saya untuk bantu saya?"

"Apa?" mulutnya terbuka, aku tidak tahu bahwa mata sebulat miliknya bisa lebih bulat lagi saat dia melebarkan matanya menatapku tak percaya.

"Aku gak nger..."

Dan begitu saja, tiba-tiba bibirku ada di bibirnya. Ia terkesiap kaget dan aku mendorongnya agar punggungnya menempel di dinding belakang rumahku. Aku tahu aku seorang bajingan, bisa-bisanya aku melakukan ini terhadap anak tetanggaku yang baru kulihat kembali selama lebih dari 7 tahun.

Tapi aku putus asa, dan entah mengapa aku yakin bisa berharap bahwa dengan bantuan Embun, masalahku bisa teratasi. Aku berusaha menggerakan bibirku di atas bibirnya yang terasa sama persis seperti apa yang kubayangkan. Kenyal dan sangat cocok untuk dikulum. Maka aku mengulumnya dan memaksa lidahku masuk ke mulutnya yang berbau pasta gigi. Kombinasi pasta gigi dan Embun sepertinya tidak cocok untukku karena aku tidak bisa berhenti untuk mengemut bibir bawahnya yang kenyal.

Rasanya lezat, aku bahkan mungkin akan betah berlama-lama menggunakan lidahku untuk mengabsen volume air liurnya. Tapi itu inti masalahnya, saat kurasakan tubuh Embun melemas, kutekan lebih keras punggungnya ke dinding dan dengan entah degup jantung siapa yang bertalu, aku membawa tangannya menuju bagian depan celanaku untuk memegang milikku yang anehnya membesar.

Kemudian kami berhenti, tepatnya aku yang berhenti dan menjauhkan gadis kecil dengan tampang linglung dan terengah ini dari tubuhku.

Ia terkejut, bahkan aku lebih terkejut darinya. Ekspresinya tidak terbaca saat dia berlari, melesat pergi menjauhiku menuju halaman belakang rumahnya sendiri. Aku mendengarnya menggedor pintu belakang rumah dengan tergesa, dan di sinilah aku tertegun seperti pria tolol.

Aku menunduk memandang bagian depan celana olahragaku yang menggembung. Kukira aku tidak bisa ereksi, tapi bagaimana bisa aku ereksi hanya dengan mengulum bibir gadis anak tetanggaku yang bahkan tidak membalas ciumanku barusan.

Tetangga Dudaku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang