Part 8

77.4K 3.1K 242
                                    

"Mbun, kamu dicari Dokter Gita dari tadi."
Aku baru saja mendudukkan bokongku di sofa depan meja resepsionis ketika perawat cantik dengan tinggi lebih dari 165cm ini datang menghampiriku. Namanya Mita, nama yang cocok dengan wajahnya yang juga manis.

Aku tersenyum pada Mita, kami berteman hampir tiga tahun. Aneh memang jika dipikir mahasiswa jurusan keperawatan seperti Mita bisa bertemu denganku di kampus yang sama.

"Hey Mit, iyakah? Aku gak tau Dokter Gita nyariin aku." aku bersandar di bahu sofa sambil meluruskan kakiku yang berdenyut, meminta lepas dari sepatu kets putih yang sudah kupakai berlari kesana-kemari hari ini, kini tali sepatu sebelah kirinya malah menjuntai keluar dari ikatan, aku bahkan terlalu malas untuk mengikatnya kembali.

"Ya, tadi aku denger dia bilang kalo udah hubungin kamu dari siang."

"Tunggu, dari siang?" aku bergegas mengambil ponsel dari saku jubah putihku, merasakan pias perlahan merayap ke sekujur wajahku.

"Mampusss, Mit! Hpku ternyata mati. Aku gak sadar waktu sibuk bantuin acara amal rumah sakit hari ini!" aku bergegas berdiri, tanpa sadar menginjak tali sepatuku sendiri yang berjuntai membuatku limbung, dan bunyi krek menyakitkan datang setelahnya.

"Awww!!" teriakku, kembali menjatuhkan diri di sofa.

"Aduh Mbun, pelan-pelan aja. Kamu gak akan dimakan hidup-hidup sama Dokter Gita cuma karena gak angkat telepon dia seharian." kata Mita membantuku untuk memeriksa kakiku yang sepertinya keseleo.

Bukan, bukan karena takut dimarahi tepatnya. Hari ini adalah jadwal Mas Agung untuk konseling dengan Bu Gita setelah konseling pertama mereka. Malamnya Mas Agung memintaku untuk menemaninya menjalani konseling seperti biasa, tapi aku yang terlalu sibuk membantu acara amal hari ini malah melupakan hal yang sudah kujanjikan sebelumnya.

Tiba-tiba rasa bersalah menjalariku, sebenarnya semalam aku hendak menyampaikan bahwa aku tidak bisa menemani Mas Agung konseling kali ini, tapi aku takut Mas Agung tidak mau melakukan konseling dan justru mengacaukan pengobatannya. Maka kuputuskan untuk berjanji dahulu sambil mengingat-ingat ketika ada waktu luang saat kegiatan amal nanti, aku akan datang ke ruang konseling.

Tapi aku mengacaukan segalanya hari ini, ditambah kakiku yang keseleo membuat perasaanku mendadak melow, Mita membantuku berdiri, memapahku setengah jalan ke kantor Bu Gita.

"Aku harus kembali cek keadaan pasiennya Dokter Bambang. Kamu bisa jalan sendiri, mbun?"

"Tentu, gak papa Mit, nanti juga baikan."

"Oke bye ya!"

"Makasihhh..." ucapku setengah berteriak pada punggung Mita yang menjauh sebelum masuk ke ruangan Bu Gita.

Bu Gita duduk di sofa ruang tunggu, kakinya bersila sambil melihat dokumen di tangannya. Ketika aku masuk, Bu Gita langsung berdiri dan menyeretku untuk ikut duduk di sofa tanpa mempedulikan keadaan kakiku yang mengenaskan.

"Mbun kamu gila ya!" Bu Gita setengah berteriak, bahkan aku berani bersumpah air liurnya membasahi udara di depanku.

"Aku minta maaf gak angkat telepon ibu seharian ini. Aku sibuk bantuin Profesor Ridwan ngurus anak-anak sekolah jalanan bu."

"Apa?" Bu Gita sedikit linglung dengan penjelasanku, ia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, bukan, bukan itu yang ia maksud.

"Ini tentang Agung, tetanggamu itu."

Refleks aku memegang tangan Bu Gita dan menatapnya serius, "Ada apa dengan Mas Agung bu?"

"Kamu gila mbun, kamu gak bilang kalo Agung bisa ereksi."

Tetangga Dudaku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang