Part 18

17.2K 1K 66
                                    

Suasana dalam rumah besar bercat putih itu sangat tegang, masing-masing orang tidak ada yang berani membuka percakapan setelah tamparan keras mendarat di wajah si anak bungsu.

Lelaki paruh baya dengan rambut putih di beberapa bagian itu menghela nafas berat, meminta istrinya untuk mengambilkan air putih agar tenggorokannya bisa sedikit lebih basah. Ia sangat lelah, tangannya gemetar setelah menampar anak bungsunya.

Karagung terlihat persis seperti dirinya dulu, sosoknya yang keras kepala juga mengingatkannya akan sosok anak lelaki yang kabur dari rumah bertahun-tahun yang lalu. Karagung anaknya, namun ia sangat heran, bagaimana ia bisa tumbuh dengan hasrat pembuktian diri yang kuat, keputusannya sama sekali tidak dapat diganggu gugat.

Ia ingat, saat anaknya berbicara terus terang bahwa ia ingin bertemu dengan ibunya. Namun ia menolak mentah-mentah keinginan anak lelakinya itu, ia justru menyalurkan amarahnya dengan memukul anaknya, membuat wajahnya penuh bilur biru.

Sampai sekarang ia menyesali semua hal yang ia lakukan pada anaknya, hanya saja ia terlalu keras kepala untuk mengakui. Apalagi saat beberapa hari kemudian, anak bungsunya kabur untuk menemui ibunya.

Dirinya yang pada dasarnya tidak pernah ditentang oleh siapapun naik pitam. Ia membiarkan anak bungsunya untuk tinggal bersama istri pertamanya tanpa sekalipun berusaha untuk membuatnya kembali ke rumah utama.

Namun jauh di dalam hati, ia hanyalah seorang ayah yang ingin anaknya menjadi kebanggan dalam hidupnya. Ia sangat peduli pada Karagung, ia ingin Karagung menggantikannya mengurus semua aset dan perusahaan yang ia miliki, ia ingin memberikan semua hal terbaik di dunia pada bungsu kecilnya itu.

Namun ia tak sadar bahwa rasa pedulinya justru berefek sebaliknya pada Karagung, anaknya menjadi pembangkang. Karagung seperti sengaja melakukan semua hal yang ayahnya benci. Karagung masuk ke perguruan tinggi dalam negeri saat ayahnya ingin dia melanjutkan study ke luar negeri.

Karagung bahkan melakukan pekerjaan part time sebagai pengajar di sekolah olahraga selagi menuntut ilmu di perguruan tinggi, di saat ayahnya ingin Karagung fokus pada study dan sedikit demi sedikit membantunya di perusahaan miliknya, anak itu justru bekerja serabutan untuk orang lain.

Ayahnya mau tak mau memanfaatkan Haikal, anak tertua dari istri keduanya untuk membantu mengurus perusahaan. Ia berharap suatu hari si bungsu kecilnya akan pulang ke rumah, kembali ke sisinya dan mewujudkan semua keingannya.

Tapi bertahun-tahun sudah, Karagung sama sekali tidak pernah datang menemuinya. Tidak bahkan sekadar untuk menyapa atau menanyakan kabar ayah kandungnya. Ditambah ayahnya yang juga berwatak sama keras kepala seperti dirinya.

Mereka berdua berakhir menjauh, tidak hanya sebatas jarak. Namun suatu hubungan antara orang tua dan anak, mereka tidak pernah memiliki itu semenjak Karagung kabur menemui ibunya.

Jadi mengapa Ayahnya datang menuntut Karagung untuk melakukan hal yang ia inginkan persis di hari kematian ibunya? Rasa terbakar yang mampir di wajahnya sangat jauh berbeda dengan rasa terbakar yang sudah lama hadir di kepalanya semenjak melihat ayahnya datang.

Pria bertubuh tegap itu bahkan masih terlihat sehat dengan para petugas keamanan yang mengelilingi mobilnya, bak adegan di dalam film, ayahnya turun dari mobil mengkilap saat salah satu petugas membuakakan pintu untuk dirinya, ditambah kacamata hitam yang bertengger di hidungnya yang bangir, Karagung sangat ingin mengusir orang tua itu, kenapa ia harus datang ke pemakaman sang ibu saat ia sama sekali tidak pernah datang ketika istrinya masih sehat!

Rasa pahit tangis mengumpul di tenggorokan Karagung, ia memandang makam ibunya yang masih basah. Menyesali diri karena ia belum bisa berbuat apapun untuk ibunya, ia belum bisa membahagiakan wanita yang ia cintai itu, namun ibunya sudah pergi lebih dulu, meninggalkan jiwa anaknya yang masih terkurung dalam masa lalu.

Tetangga Dudaku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang