#13 Intention

236 44 16
                                    

Gama meletakkan ponselnya dan berusaha kembali fokus pada naskah komik yang harus dia kurasi. Foto Runi yang dikirimkan Keisha barusan berhasil membuat lelaki itu lebih bersemangat. Segala kantuk dan lelah yang menderanya beberapa hari terakhir langsung lenyap tak berbekas. Keisha juga mengabarkan beberapa hari lagi Runi akan menjalani sidang skripsi. Itu artinya, momen yang telah Gama nanti-nantikan semakin dekat.

Begitu mendapat kabar jadwal wisuda Runi, lelaki itu akan segera mengajukan cuti. Jika semuanya berjalan lancar, ketika dia kembali ke Korea nanti, Runi sudah dapat ikut bersamanya. Hanya dengan memikirkan hal itu, hati Gama terasa hangat. Bayangan tentang masa depan yang akan dia rajut bersama Runi setidaknya dapat membuatnya bertahan membendung rindu. Sungguh Gama rindu mendengar tawa renyah gadis itu. Terkadang dia ingin menelepon Runi, tetapi Gama tak ingin melanggar janji yang telah disepakati.

Gama tahu, harusnya belum waktunya untuk berandai-andai terlalu jauh. Tapi dia bisa apa? Sejak pertemuan pertama, Runi sudah seperti pusat tata suryanya. Meski Runi tak berani menjanjikan apa-apa, Gama sudah menyusun rencana demi rencana. Di mana mereka akan tinggal nanti, ke mana saja dia akan mengajak Runi berjalan-jalan di akhir pekan, makanan apa saja yang akan dia minta Runi cicipi. Gama telah memikirkan semuanya. Tiap hari yang dia lewati tak pernah sekalipun dilewatinya tanpa memikirkan Runi.

Sedikit lagi. Gama menghibur diri sendiri. Dia hanya perlu bersabar sedikit lagi.

Seseorang menepuk pundak Gama dari belakang seiring dengan semerbak parfum beraroma stroberi yang menggelitik indra penciuman lelaki itu. Gama memutar kursi dan menemukan Angela—seperti yang telah lelaki dia duga—berdiri di belakangnya dengan senyum terkembang lebar.

"Saat rapat tadi, aku lihat kamu kelihatan lelah sekali. Sekarang, wajahmu jauh lebih cerah. Apa yang membuatmu senang begitu?" Angela menarik kursi hidrolik dari meja sebelah, lalu duduk sambil mengatur kemiringan sandaran kursinya.

"Aku baru dapat kabar baik dari Indonesia," jawab Gama dengan senyum penuh rahasia. Jemarinya mengetuk-ngetuk keyboard untuk mengetikkan komentar pada naskah yang sedang dia reviu. Dia berpura-pura sibuk melanjutkan pekerjaannya agar Angela tak bertanya lebih jauh. Lelaki itu takut tak bisa menahan diri berbagi rahasia dan kebahagiaan yang tengah dirasakan.

"Kabar apa?" Mata Angela mengerjap penasaran. Gadis itu menarik kursinya merapat ke tempat Gama duduk. Dengan tangan menempel di pipi membentuk corong, Angela berbisik pelan, "Sekali-kali bagilah rahasiamu. Kita kan sudah berteman lebih beberapa bulan."

Gama menoleh dan balas menatap gadis bermata sipit itu. "Nanti, kalau sudah waktunya, kamu akan tahu."

"Apa keluargamu akan datang berkunjung ke sini?" terka gadis itu.

"Bisa dibilang begitu."

"Siapa? Ayah dan ibumu? Adikmu? Kamu pernah bilang punya seorang adik perempuan, kan? Atau semuanya akan datang."

Gama tersenyum. Kepalanya menggeleng pelan. "Sudah-sudah. Nanti kalau sudah pasti, baru akan kuceritakan."

"Atau kekasihmu?"

Gama tak menjawab. Angela pasti tak akan mengerti jika Gama menjelaskan bagaimana hubungannya dengan Runi sekarang. Memang tak ada label khusus yang Gama dan Runi sematkan dalam hubungan mereka, tetapi tak bisa juga Gama berkata mereka tak terikat apa-apa. Ada janji yang telah terucap dan sebisa mungkin akan Gama penuhi.

"Ah. Sepertinya benar tebakanku." Angela meninju lengan Gama pelan. "Jadi, kapan dia akan datang? Jika butuh saran tentang tempat-tempat romantis untuk membawa kekasihmu jalan-jalan, kamu bisa tanya aku," ujarnya dengan nada riang yang terkesan dibuat-buat.

"Dia bukan kekasihku." Akhirnya Gama bersuara. Sekali lagi, bibirnya melengkung senyum. Tiap kali memikirkan Runi, Gama tak bisa mencegah kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Bintang matanya selalu berkilat terang jika membayangkan gadis pujaan hatinya itu.

Cahaya Cinta Arunika (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang