Ketika Runi akhirnya keluar dari kamar mandi, Anita tengah mendengarkan cerita Gama tentang culture shock yang dialaminya saat pertama kali datang di Korea. Runi terus memperhatikan Gama, berusaha mencuri sepuas-puasnya derai tawa dan senyum lelaki itu, karena mungkin setelah ini Runi tidak akan mendapatkan kesempatan itu lagi.
"Are you okay, Run?" Gama akhirnya menoleh kepada Runi. Raut wajahnya menyiratkan rasa cemas.
Runi memaksakan diri untuk tersenyum, meski dia tahu sudah terlambat untuk berpura-pura. Matanya kini pasti terlihat merah dan bengkak. Lagi pula, dia tidak pernah bisa membohongi Gama. Lelaki itu pasti dapat langsung menebak bahwa Runi habis menangis.
"Nggak apa-apa, kok, Mas." Runi berjalan menuju bufet kecil di dekat ranjang. "Mas Gama mau minum? Tapi, aku cuma punya teh."
Sebelum Gama sempat menjawab, Anita terlebih dulu menyela, "Kamu ajak Gama minum di kafe depan rumah sakit aja, Run. Kalian, kan, sudah lama nggak ketemu. Pasti banyak yang pingin kalian obrolin. Gama juga dari bandara langsung ke sini, pasti lapar. Biar dia bisa sekalian makan di sana."
"Tapi, Bun--"
"Nggak perlu khawatirin bunda. Bunda nggak apa-apa kok. Kamu sesekali perlu keluar dari ruangan ini, Run. Yang sakit itu, kan, bunda, kamu nggak perlu ikut-ikutan mengurung diri di rumah sakit."
Runi bertukar pandang dengan Gama. Runi memang butuh bicara berdua dengan lelaki itu, tetapi dia khawatir sang ibu membutuhkan bantuannya.
"Kalau ada apa-apa, bunda janji bakal panggil suster. Tinggal pencet tombol ini kan?" Anita menunjuk tombol nurse call yang menjuntai di dekat kepalanya. "Sudah, sana cepat pergi. Bunda ngantuk, mau tidur."
Runi akhirnya menyetujui saran ibunya. Saat melewati ruang perawat, gadis itu mampir sebentar untuk memberikan nomor ponselnya kepada perawat yang sedang berjaga sekaligus menitipkan Anita.
Suasana canggung menyelimuti Runi dan Gama. Mereka jalan beriringan tanpa berkata apa pun, seolah kehabisan bahan pembicaraan.
"Kamu benar baik-baik saja, Run?" Gama mengulang pertanyaannya saat mereka berdua telah duduk berhadapan di kafe bernuansa ekletik itu. "Kamu masih bisa cerita apa aja ke aku, lho, Run. Nggak perlu pura-pura kuat di depanku."
Runi memberanikan diri balas menatap lelaki itu. Sorot mata itu masih setajam dan setenang biasanya, menawarkan tempat ternyaman bagi Runi seperti sebelum-sebelumnya.
"Aku nggak tahu, Mas. Rasanya beberapa minggu terakhir, aku bahkan nggak sempat memikirkan diriku sendiri."
Untuk pertama kalinya sejak sang ibu kecelakaan, Runi menunjukkan sisi rapuhnya kepada orang lain. Selama ini, dia menahan diri untuk tidak terlihat lemah, berusaha selalu tampak tegar. Hanya kepada Gama, Runi merasa bebas membagi beban.
"Maaf, ya. Kemarin, aku terlalu sibuk ngurusin event, sampai lupa nanyain kabar kamu."
Percakapan mereka terhenti sejenak kala pelayan mengantarkan pesanan mereka. Segelas lemon tea untuk Runi, serta segelas jus jeruk dan sepiring nasi goreng untuk Gama. Runi dan Gama meraih gelas masing-masing, lalu minum dengan cepat.
"Kata bundamu, lusa beliau sudah boleh pulang?" Gama bertanya sambil mulai menyendok nasi. "Kamu beneran nggak pesan makan?"
"Aku sudah makan tadi." Runi menggeleng untuk menjawab pertanyaan kedua Gama. "Iya, insyaAllah bunda pulang lusa."
"Besok, aku pulang dulu ke rumah. Lusa, insyaAllah aku sudah balik lagi ke sini. Nanti, aku sekalian bantu pindahan."
"Nggak perlu repot-repot, Mas." Di bawah meja, jemari Runi sibuk memilin ujung kemejanya. Sejak kemarin, dia sudah menyiapkan kata-kata yang dia ucapkan kepada Gama. Namun sekarang, dia benar-benar kehilangan keberanian. Setelah melihat wajah Gama lagi, dia merasa tidak ingin melepas lelaki itu pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Cinta Arunika (Tamat)
RomansaArunika Dahayu, gadis dengan tawa sehangat matahari pagi. Gama Fareza, pria dengan sorot mata secemerlang bintang. Kenar Andaru, lelaki dengan senyum seteduh bulan purnama. Takdir membelit kisah mereka dalam jalinan cerita yang entah hendak dibaw...