#20 Invocation - 1

126 36 6
                                    

Suara kendaraan bermotor yang menderu di jalanan depan rumahnya terdengar semakin ramai. Berkas cahaya mentari yang menyelinap masuk melalui celah jendela pun semakin terang. Tanpa perlu melihat jam, Kenar tahu hari telah beranjak siang. 

Hari itu, sebagaimana hari-hari kemarin, dia tidak perlu ke kampus. Setelah jatuh pingsan tempo hari, Kenar langsung mengajukan cuti dan meminta tolong rekannya untuk menggantikan jadwal mengajar yang masih belum Kenar tunaikan.  

Kenar juga belum sanggup kembali ke rumah sakit itu untuk menjenguk Runi dan Anita. Saat menjalani medical check up kemarin, kepalanya sempat berkunang-kunang kala melewati lorong rumah sakit yang mirip dengan tempat pertemuannya dengan Tsania.

Dia seperti mengulang masa-masa kelam setelah kepergian Tsania. Bahkan, ingatannya tentang Runi tidak mampu mengusir bayang-bayang perempuan itu. Ternyata, selama ini Kenar salah. Dia sama sekali belum berhasil melupakan Tsania. Runi hanya seperti sebuah persinggahan kecil yang mengalihkan perhatiannya sejenak. Ketika sosok Tsania kembali muncul di hadapannya, segala memori yang berusaha Kenar lupakan kembali tumpah membanjiri kepalanya.

Pertemuan yang hanya beberapa menit itu benar-benar mengacaukan Kenar. Kini, lelaki itu hanya ingin terus bersembunyi di dalam rumah dan enggan bertemu dengan orang lain. Akal sehatnya tahu, tidak harusnya dia bersikap seperti itu. Namun pada kenyataannya, tubuh Kenar seolah kehilangan seluruh tenaga yang dimiliki. Dia hanya ingin terus berbaring di tempat tidur dan meratapi nasib sepanjang hari.

Kenar menyentuh dada kirinya dengan tangan kanan. Dapat dia rasakan jantungnya berdetak di dalam sana. Normal. Tidak terlalu lambat, tidak pula terlalu cepat.

Dengan gerakan perlahan, lelaki itu memutar leher dan menatap jendela kamarnya yang tertutup. Ingatan membawanya ke pertemuan pertamanya dengan Runi. Ritme jantungnya berubah. Kali ini, sedikit lebih cepat. Kenangan bersama Runi satu per satu bermunculan, tetapi tiba-tiba bayangan Tsania kembali muncul. 

Dulu, Kenar sempat berpikir Runi dapat menjadi obat atas luka yang dia rasakan. Namun kini, obat itu seperti telah tidak mempan lagi, mungkin juga karena Runi sendiri saat ini sedang redup dan banyak masalah. Kenar tidak bisa mencuri cahaya terang Runi untuk mengusir pikiran-pikiran negatif yang terus berseliweran di kepalanya.

-AmelA-

Anita menggeleng pelan dan mengangkat tangannya untuk memberi isyarat bahwa dia tidak sanggup menelan satu suap lagi. Runi menuruti kemauan ibunya. Piring dan sendok yang tadi berada di tangannya kini berpindah ke atas nakas.

"Gama nggak mampir lagi, Run?" tanya Anita setelah minum.

Senyum Runi merekah di wajahnya. Meski sederhana, pertanyaan Anita barusan menunjukkan bahwa wanita itu dapat mengingat bahwa Gama sempat berkunjung malam sebelumnya. Hal itu sangat berarti bagi Runi, mengingat sejak bangun dari operasi, ingatan sang bunda sedikit kacau.

"Mas Gama lagi pulang dulu ke rumahnya, Bun." Runi mendaratkan bokong di ranjang, lalu mulai memijat lembut betis  Anita.

"Kalau Kenar? Kayaknya sudah lama bunda nggak lihat dia."

Kali ini, Runi terdiam cukup lama. Dia baru teringat belum sempat menanyakan kabar Kenar lagi. Semoga saja lelaki itu baik-baik saja. "Mungkin Mas Kenar masih sibuk, Bun," kata Runi pada akhirnya. Senyumnya semakin lebar ketika dilihatnya wajah sang Ibu yang berbinar. Kedua mata itu kini tampak sepenuhnya telah sadar, tidak berkabut seperti hari-hari sebelumnya.

"Dia nggak bilang apa-apa sama kamu, Run?" Setelah dosis obatnya dikurangi, Anita mulai dapat mengingat hal-hal yang sempat dia lupakan. Dia pun teringat tentang Kenar yang meminta restunya untuk melamar Runi. Waktu itu, Anita langsung memberikan restu tanpa pikir panjang karena tidak tahu bahwa Runi telah memiliki rencana lain.

"Siapa, Bun? Mas Gama atau Mas Kenar?"

"Kenar."

Runi menggeleng ragu. Dia tidak mengerti maksud pertanyaan Anita. "Kenapa memangnya?"

Anita menyentuh pipi Runi dengan lembut. Bibirnya menyungingkan senyum. "Nggak. Nggak apa-apa. Nanti, biar bunda tanya langsung kalau lagi ketemu."

"Ih, Bunda. Sekarang, Runi malah penasaran, kan, jadinya. Emang ada apa sih?" Bibir Runi mengerucut.

"Nggak apa-apa, Runi sayang. Kamu sendiri gimana? Kemarin ngobrolin apa sama Gama?" Anita berusaha mengalihkan pembicaraan. Mungkin dia sempat memberi tahu Kenar sebelum kecelakaan itu terjadi. Entahlah, ingatannya belum kembali sempurna. Anita tidak mampu mengingat apakah telah sempat mengirimkan pesan kepada Kenar untuk membatalkan rencana melamar Runi.

Wajah Runi memerah. Dia tahu ke mana Anita akan mengarahkan pertanyaan. Namun, senyumnya pudar dengan cepat. Hatinya kembali ragu, tidak tahu jawaban apa yang mesti dia berikan.

"Kenapa, Run?" Anita menyadari perubahan roman wajah putrinya. "Semua baik-baik saja kan, Run?"

Runi menggigit bibir. Ditatapnya Anita dengan raut sedih. Gadis itu membutuhkan saran dari sang ibu, tetapi apakah sekarang adalah saat yang tepat? Runi tidak ingin Anita merasa menjadi penyebab kegalauan yang tengah Runi rasakan. 

"Nggak apa-apa, Bun. Runi cuma terharu Mas Gama repot-repot cuti dan pulang ke Indonesia cuma buat memastikan keadaan Bunda dan Runi."

"Itu artinya, dia benar-benar sayang sama kamu, Run. Selama ini, dia juga selalu memprioritaskan kamu, kan?"

Pertanyaaan Anita terus terngiang di telinga Runi. Ah, sekarang gadis itu benar-benar bingung. Runi tahu Gama tulus mencintainya, tetapi apakah dia dapat membalas cinta lelaki itu sama besarnya? Bukankah itu tidak adil bagi Gama?

"Kamu ragu karena mikirin kondisi bunda?" Anita seolah dapat membaca apa yang sedang dipikirkan putrinya. Belum pernah dia melihat Runi semuram itu. 

"Bukan begitu, Bun." Runi sedikit tersentak, tidak menyangka sang bunda akan bertanya terang-terangan seperti itu. Ingin sekali dia mengarang alasan yang tidak menyudutkan Anita, tetapi tatapan wanita itu seolah menembus pikirannya. Detik itu juga, Runi tahu bahwa dia tidak akan bisa membohongi Anita.

"Bunda sadar, setidaknya beberapa bulan ke depan, bunda akan sangat membutuhkan bantuan kamu, Run. Tapi, percaya sama bunda, Run, kita pasti akan nemuin jalan keluar. Gama kemarin sempat bilang bahwa kontraknya hanya sampai tahun depan. Jadi, masih banyak waktu untuk persiapan, entah kamu yang akan ikut ke Korea seperti rencana awal atau Gama yang kembali kerja di Indonesia."

Gama juga mengatakan hal yang sama kepada Runi malam sebelumnya. Malahan, lelaki itu dengan tegas berkata tidak akan memperpanjang kontrak agar bisa kembali dekat dengan Runi.

"Runi cuma nggak pingin berutang terlalu banyak sama Mas Gama, Bun."

"Apa kamu sudah tanya sama Gama?"

"Tanya apa?"

"Apa dia merasa terpaksa melakukan semua yang telah dia lakukan buat kamu." Anita mengusap telapak tangan Runi. "Bunda tahu kamu takut. Sebelum menikah dengan ayahmu, bunda juga merasakan hal yang sama. Di kondisi kayak gini, pikiran kita emang nggak bisa berpikir jernih, Run. Jadi, jalan keluar terakhir hanyalah minta petunjuk sama Allah."

Kepala Runi mengangguk pelan. Pandangan matanya kini tertuju ke bawah, berusaha menyembunyikan kedua matanya yang kini telah berembun. 

"Maafin bunda ya, Runi. Kalau aja bunda lebih hati-hati saat jalan, mungkin bunda nggak akan kecelakaan, dan kamu nggak akan bingung seperti ini," gumam Anita lirih di antara isak tangisnya.

Runi segera mengusap kedua pipinya lalu memaksakan diri tersenyum. "Bunda sendiri yang bilang sama Runi, kan, nggak boleh kita berandai-andai." Gadis itu meraih tisu dari nakas lalu menggunakannya untuk mengusap air mata sang bunda. "Nanti malam, Runi akan salat istikharah lagi."

----------
Halo,
Terima kasih sudah mampir
Part ini terasa dikit?
Iya, memang, soalnya InsyaAllah agak malaman bakal ada 1 part lagi.
Sedang diusahakan demi mengejar tamat akhir bulan.

Cahaya Cinta Arunika (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang