#2 Interaction

283 44 13
                                    

Halo. Buat yang kemarin sempat mampir ke bab 1, mungkin akan merasa menemukan beberapa pengulangan di bab ini karena kemarin saya ceritanya mau ngetes menu schedule posting, malah kepost bab yang belum direvisi. 

Cerita ini sudah pernah saya tamatkan 2 tahun lalu, tapi rencananya mau saya revisi lagi buat nyocokin sama spin off yang lagi ditulis. Tapi berhubung saya masih ada tanggungan cerita on going, saya mau ngejar revisi Age is Just a Number dulu.

Terima kasih sudah mampir. Semoga saya bisa lebih rutin menulis.

Enjoy.

- Amela

---

Gama langsung menyalakan AC begitu masuk ke kamar indekosnya. Setelah meletakkan bungkusan plastik berisi makan siangnya ke atas meja, lelaki itu segera melepas baju koko yang dikenakan dan menggantinya dengan kaos oblong longgar. Siang itu, langit Jakarta kelewat cerah. Matahari bersinar terik, membakar aspal jalanan dan segala sesuatu yang berada di luar ruangan.

Pada saat seperti ini, Gama bersyukur tidak menyewa kamar yang lebih lapang. Sebentar saja, udara yang mengisi ruangan telah menjadi lebih sejuk. Dia memilih berbaring di lantai sejenak untuk mendinginkan diri. Kantuk perlahan merayapinya, tetapi Gama berusaha untuk tidak terlelap, dia masih harus mengejar target bacaan Al-Qur'annya hari itu.

Seutas senyum tersimpul di wajah lelaki itu. Dia sendiri tidak pernah menyangka seorang Gama Fahreza akan rutin mengaji minimal satu juz sehari. Empat tahun lalu, dia justru lebih sering mampir ke diskotek daripada masjid. Jangankan membaca Al-Qur'an, dia dulu bahkan tidak bisa membedakan doa sebelum tidur dengan doa sebelum makan. Pada masa-masa terkelamnya, Gama menyalahkan Tuhan atas segala hal buruk yang menimpanya dan menjalani hidup jauh dari nilai-nilai agama.

Mata Gama terpejam, tetapi otaknya sibuk memutar kenangan. Dia memutuskan berubah jauh sebelum Runi datang dalam hidupnya. Hanya saja, kehadiran Runi menjadi salah satu hal yang membuatnya tetap kuat dan bertahan di jalan taubat. Entah kenapa setiap kali dirinya mulai goyah, Runi selalu mengingatkannya untuk tidak menyerah dengan cara yang bahkan mungkin Runi tidak sadari.

"Walau kandungan alkoholnya nol persen, tapi rasanya kan dibuat menyerupai bir, Mas! Belum lagi merknya memang identik dengan produsen minuman keras. Lihat, nih, nggak ada logo halalnya. Mending Mas Gama beli minuman lain!"

Lengkungan senyum yang menghias bibir Gama kian lebar ketika suara Runi menggema di benaknya. Masih dapat dia ingat dengan teramat jelas betapa menggemaskan mimik wajah Runi saat mengomelinya waktu itu. Alih-alih merasa kesal, Gama justru merasakan kehangatan dalam setiap kata-kata yang dilantunkan Runi. Gadis itu bukan hendak menceramahi atau mengecamnya, tetapi memang benar-benar perhatian dan tak ingin dirinya terjerumus melakukan hal yang salah.

Di mata Gama, Runi adalah orang paling tulus yang pernah ditemuinya. Makin lama dia mengenal gadis itu, makin besar pula kekagumannya pada Runi.

Ya, kekaguman. Gama memilih menggunakan istilah itu untuk menamai perasaan yang disembunyikannya rapat-rapat selama ini. Lelaki itu tidak berani menggunakan istilah lain meskipun tahu bahwa sekadar kagum tidak akan membuat dadanya seperti akan meledak setiap kali berinteraksi dengan Runi. Gama tidak ingin menghancurkan pertemanannya dengan Runi. Dia tahu suatu saat tetap saja Runi akan pergi meninggalkannya, tetapi biarlah itu dia pikirkan nanti saja.

Lamunan Gama terputus. Ponsel yang sedang dia isi daya di atas nakas mendendangkan potongan lagu Fur Elise. Gama memaksakan tubuhnya bangkit dari posisi tidurnya yang nyaman sambil menggerutu, tetapi rasa kesalnya langsung buyar saat tahu siapa yang menelepon.

'Mas Gama sudah cek email?' todong Runi begitu Gama menjawab salamnya. 'Aku dah kirim revisian.'

"Belum, Run. Ini aku baru nyampe rumah."

Cahaya Cinta Arunika (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang