Wajah wanita itu terlihat kaget ketika membuka pintu. Ditatapnya Gama dengan rasa tidak percaya. Setelah memastikan tidak salah lihat, dia langsung merengkuh tubuh tegap Gama ke dalam pelukan. Tangan keriputnya mengelus lembut punggung sang putra. Meski baru beberapa bulan tidak bertemu, sebagai seorang ibu, Sinta tentu selalu merindukan Gama, apalagi jika memikirkan putranya itu harus hidup di negeri asing yang begitu jauh.
Gama balas mendekap. Diraupnya oksigen banyak-banyak, berusaha mencuri aroma teh melati yang selalu tercium dari ibunya. Pelukan wanita itu berhasil menghangatkan hatinya yang tengah resah. Memang benar kata orang, tempat ternyaman di dunia adalah dekapan seorang ibu.
"Kok, kamu nggak bilang-bilang kalau mau pulang? Bukannya baru bulan depan cutinya?Tahu gitu, kan, ibu masakin makanan kesukaan kamu." Sinta berusaha menyembunyikan rasa harunya dengan mengomel. Ditariknya lengan Gama untuk mengajak masuk.
"Biar surprise, Bu." Gama beralasan. Padahal, dia yang lupa mengabari sang ibu bahwa cutinya dimajukan. Beberapa minggu terakhir, waktunya tersita untuk menyelesaikan segala tanggung jawabnya di kantor. "Agni mana? Masih tidur?"
"Lagi nginap di kosan temannya. Kemarin dia kerja kelompokk sampai kemalaman, jadi ibu surah nginap saja."
"Ibu sendirian di rumah berarti?" Rasa bersalah menyelimuti Gama. Seharusnya, dia lebih sering meluangkan waktu untuk menghubungi sang ibu.
"Iya." Sinta tersenyum lembut. "Nggak apa, kok. Ibu sudah biasa. Gimana, sudah ketemu calon istrimu?"
"Runi belum jawab lamaran saya, Bu." Muka Gama sontak memerah. Meski selama ini dia sering menyebut Runi sebagai calon istri saat sedang berbicara dengan Angela, tetap saja dia merasa rikuh ketika orang lain yang menyebutnya seperti itu. Terlebih lagi, sampai saat ini statusnya dan Runi belum ada kejelasan.. "Tapi, saya anggap itu doa."
"Ibu memang selalu mendoakan kamu supaya mendapatkan semua yang kamu inginkan, termasuk dalam urusan jodoh." Senyum keibuan yang sejak tadi menghias wajah Sinta tiba-tiba berganti dengan raut serius. "Gimana kondisi bundanya Runi?"
Gama menceritakan semuanya kepada sang ibu. Tentang kondisi Anita yang harus duduk di kursi roda. Tentang Runi yang tidak bisa meninggalkan Anita. Tentang keraguan Runi. Tentang segalanya yang membebani pikiran Gama.
"Ngelihat Runi serapuh itu, membuat saya ingin peluk dia, Bu. Saya ingin Runi tahu bahwa saya akan selalu ada buat dia," tutur Gama lirih saat teringat bagaimana dia harus menahan diri untuk tidak menggenggam tangan Runi kemarin.
"Dengan kamu pulang aja, ibu yakin Runi tahu kalau kamu ada buat dia."
Gama tidak membantah, meski di dalam hatinya, dia masih merasa frustrasi. Kemarin, dia dan Runi begitu dekat, tetapi Gama merasa tidak berdaya melakukan apa-apa.
"Semua pasti ada hikmahnya, Gama." Sinta mengusap pundak Gama dengan lembut. Dia sendiri juga pernah dirawat di rumah sakit dalam waktu cukup lama. Walaupun sanga ingin melupakan pengalaman itu, tetapi Sinta tetap mensyukurinya. Penyakitnya berhasil menyadarkan Gama untuk berubah menjadi lebih baik.
"Kalau Runi memang jodoh kamu, entah sekarang atau nanti, pada akhirnya kalian akan bersatu. Tapi, kalau dia bukan jodoh kamu, mau kamu kejar sampai jumpalitanmu, dia nggak akan pernah jadi milik kamu," lanjut Sinta. Tentu saja dia ingin putranya berjodoh dengan Runi. Gadis itu juga banyak berperan memotivasi Gama untuk terus memperbaiki diri. Namun, jodoh adalah rahasia Tuhan yang tidak dapat ditebak.
"Iya, Bu. Saya tahu. Sejak awal, saya sudah nggak banyak berharap karena Ibu tahu sendiri gimana masa lalu saya. Sampai sekarang pun, saya masih merasa nggak pantas buat Runi. Saya sudah mencoba pasrah, tapi apa saya salah kalau saya masih mengharapkan Runi?"
"Nggak. Nggak ada yang salah dengan mencintai seseorang sebesar itu, Gama." Kalimat Sinta mengambang di udara. Wanita itu tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak balas mencintainya. Dia harap, putranya tidak akan bernasib sama.
-AmelA-
"Semoga cepat sembuh, ya, Mbakyu" Kamila tersenyum tulus kepada Anita yang tengah duduk di atas kursi roda. Digenggamnya tangan Anita untuk memberi kekuatan dan semangat.
"Jeng Kamila juga hati-hati di jalan. Semoga perjalanannya lancar," ujar Anita.
"Kami ke bandara dulu, ya, Run." Kenar menatap Runi lekat-lekat. Mungkin sehabis ini mereka akan jarang bertemu. Kamila telah berhasil membujuknya untuk resign dari kampusnya. Begitu selesai mengoreksi ujian, Kenar akan kembali pulang ke Semarang.
"Sekali lagi, terima kasih ya, Mas, sudah bantuin pindahan dari rumah sakit." Runi mengantar kepergian Kamila dan Kenar ke serambi rumahnya. Gadis itu masih berdiri di sana sampai mobil Kenar menghilang di ujung gang.
"Senang ya, Run, pulang ke rumah sendiri." Anita menyambut Runi dengan senyum lebar ketika gadis itu kembali masuk rumah.
Runi mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mala benar-benar telah membersihkan rumah itu ke setiap sudutnya. Runi bersyukur memiliki sahabat yang tidak pernah perhitungan seperti Mala. Tanpa bantuan Mala, entah bagaimana nasibnya.
"Bunda mau Runi saya antar ke kamar?" tawar Runi sembari membereskan cangkir-cangkir teh di meja.
"Nggak perlu, Run. Bunda masih pingin di sini. Kangen banget sama rumah, rasanya."
Runi membawa cangkir-cangkir kotor itu ke dapur dan meletakkannya di bak cuci piring. Nanti saja akan dia cuci. Runi tidak ingin meninggalkan sang bunda terlalu lama sendiri.
"Kamu jadinya nggak ikut wisuda, Run?" tanya Anita begitu Rani kembali duduk di sisinya.
Runi menggeleng. "Nggak, Bun. Toh, nggak wajib juga. Palingan akhir bulan nanti, Runi ke kampus sebentar buat ikut yudisium, soalnya wajib untuk syarat kelulusan."
"Tapi ... bunda pingin lihat kamu wisuda."
Kening Runi mengernyit. "Bunda pingin lihat Runi wisuda?" Gadis itu mengulang kalimat ibunya untuk memastikan.
"Tapi, nanti repot ya, pasti?" Sorot mata Anita menyiratkan rasa kecewa.
"Nggak, kok, Bun. Nanti, Runi bisa minta tolong sama Mala atau siapa gitu buat nemenin Bunda." Runi terlihat berpikir. Jadwal wisudanya masih sekitar sebulan lagi. Mungkin kondisi Anita sudah jauh lebih baik saat itu, tetapi tetap saja mustahil membiarkan sang ibu datang sendiri ke acara wisudanya.
"Nggak perlu, Run. Kasihan Mala sudah sering kita repotkan."
Mereka berdua terdiam, seakan dengan sengaja membiarkan keheningan mengisi ruangan itu.
"Kamu belum mengambil keputusan, Run?"
Runi menatap sang bunda dengan sorot bingung.
"Tentang lamaran Gama." Anita memberikan penjelasan. "Memang benar, pernikahan itu bukan main-main. Tapi, nggak baik juga menggantung pinangan seperti itu, Run. Apa yang sebenarnya membuat kamu ragu?"
Runi tidak segera menjawab. Dari raut wajahnya yang sendu, terlihat jelas bahwa gadis itu sedang galau.
"Runi takut, gimana kalau kecelakaan itu adalah petunjuk kalau Runi nggak berjodoh sama Mas Gama. Nggak mungkin Runi ninggalin Bunda sendirian dalam kondisi kayak gini," kata Runi pada akhirnya.
"Ya ampun, Runi. Kecelakaan itu tuh takdir Allah, bukan salah Gama. Bunda pikir karena kamu ragu karena menyukai orang lain." Anita tertawa mendengar penuturan putrinya. "Tempo hari, Gama juga bilang sama Bunda kalau dia nggak berencana memperpanjang kontraknya di Korea. Bunda tahu LDR itu nggak gampang, tapi bunda rasa, kalian bisa melewatinya bersama."
Anita menyentuh wajah Runi. "Bunda akan mendukung apa pun keputusan kamu. Tapi, satu pesan bunda. Kalaupun kamu mau menolak lamaran Gama, kamu harus berikan alasan yang logis."
Bibir Runi menyunggingkan senyum. Gadis itu berusaha mencegah air matanya tumpah. Nasihat yang barusan dia dengar berhasil meyakinkannya. Siang itu, dia sudah tahu jawaban apa yang akan dia berikan kepada Gama. Runi sudah menemukan alasan yang tepat untuk mendukung keputusannya.
-------------
Halo
Terima kasih sudah mampir
Kurang 1 bab lagi menuju ending
Sampai jumpa lagi nanti malamJangan lupa vote dan tinggalkan komentar
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Cinta Arunika (Tamat)
RomanceArunika Dahayu, gadis dengan tawa sehangat matahari pagi. Gama Fareza, pria dengan sorot mata secemerlang bintang. Kenar Andaru, lelaki dengan senyum seteduh bulan purnama. Takdir membelit kisah mereka dalam jalinan cerita yang entah hendak dibaw...